Here's What I Learned From My 25 Years Old-Self

By dev - August 01, 2020


Selamat dua puluh enam!

Setahun ke belakang, di umur dua puluh lima mungkin adalah umur dengan begitu banyak pengambilan keputusan yang kulakukan sendiri lengkap dengan semua resiko yang mengikuti.

Selama ini, dua puluh lima terasa seperti batas. Kubayangkan di umur ini sudah sepatutnya sebuah transformasi besar akan terjadi. Nyatanya, nggak juga.

Aku merasa biasa saja. Selain berat badan yang entah sudah sampai angka tujuh puluh atau belum, tidak ada yang berubah dariku. Tapi, setelah setahun berlalu dan menengok ke belakang, perubahan memang terjadi dan semoga mengarah ke sisi yang lebih baik.

So, here's what I learned from my 25 years old-self.

Loving being alone doesn't mean you are immune to loneliness.

Dua minggu sebelum ulang tahunku yang ke dua puluh lima tahun, pukul sepuluh pagi, aku menggendong tas carrier dan mendorong satu koper penuh baju membelah lapangan parkir stasiun Kiaracondong yang nggak rata. 

Setelah sebelas tahun lalu kembali ke Jogja dan meskipun aku bersumpah nggak akan 'merantau' lagi, nyatanya aku berakhir di Bandung. Di kota baru, tanpa teman atau saudara, awalnya kukira aku akan baik-baik saja. Toh juga di Jogja juga kemana-mana sendiri. Di rumah juga nongkrong di kamar doang. I'll be fiiiiine.

Turns out, I was wrong. 

Loneliness hits so hard when you're all alone. Not having the option to talk face to face to anyone anytime, even just for a small chat, is hard. Then I realized, I am certainly not immune to loneliness.


You get closer when you're apart.

Di masa-masa sulit itu, siapa yang jadi peganganku? Tentu keluarga. It's funny how, back home, we don't talk much. The opposite, we fight all the time. But after I moved out, I miss them more than everything. We sometimes take things for granted. This is the first thing I realized, that being closer to family is a blessing.

We start to video chat every night. When I doubt anything, when it feels like I won't make it, they remind me to take my time. If I fail, I could always come home. 

That become my mantra. I could always come home.


When you live alone, you get to know yourself better.

Ketika kamu hidup sendiri, dan kepribadianku seperti aku, living alone means more time to yourself. Apalagi ditambah dengan nyemplung ke lingkungan baru dan dikelilingi orang-orang baru. I would be more aware about myself, how i think, react of act.

Ketika aku punya lebih banyak waktu sendirian (aku nggak tahu ini baik atau buruk), aku lebih sering merenungkan diriku sendiri. All those sleepless nights adalah waktu untuk memutar kembali apa yang terjadi hari itu, dan menyimpulkan hal-hal yang salah dari diriku (yang ini aku yakin nggak baik buat mentalku).

Selama beberapa waktu kombinasi gagasan yang ada di kepalaku setiap malam adalah seharusnya aku tidak melakukan itu, seharusnya aku nggak jawab begitu, seharusnya pikiranku nggak ke situ.

This leads to worsen my mental state. But eventually, I could handle my thoughts and use this to get to know myself better.


Sebenarnya pasti ada lebih banyak hal yang terjadi setahun ke belakang, yang mungkin terlewat dari pemahamanku. Aku hanya bisa berharap, di umur ini, sekali lagi, semesta akan menuntunku ke arah yang lebih baik.

Aku bercermin dan menatap diriku saat ini, "kuatkan jiwamu, damaikan hatimu."

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar