Perihal Lelah yang Menuntut Diakui

By dev - December 09, 2020



Selama masa kecilku, kerja keras terlihat dari lelah Ibuk sepulangnya beliau dari pabrik, atau kerasnya otot kaki Bapak setelah seharian bekerja di proyek. Selama masa remajaku, kerja keras mewujud dari rambut gondrong Mas dan nafsu makan sayurnya yang meluap-luap setiap dua bulan sekali dia pulang ke Jawa dari lokasi tambang di pulau seberang.


Selama masa kuliah, kerja keras terasa olehku dari tugas kuliah yang menumpuk, di samping tugas event organisasi, tugas kerja pergi liputan dan karya komunitas yang harus dikumpulkan seminggu sekali. Pulang malam, tidur pagi, esoknya berangkat lagi.

Hal-hal ini yang tanpa kusadari membentuk definisi lelah. Ketika tidak ada waktu makan, sempat duduk untuk minum air atau istirahat. Hal-hal di luar itu adalah malas.

Definisi lelah yang semacam ini membuat perbandingan lelahku dengan lelah orang lain menjadi sedikit lebih berat. Belakangan aku menyadari bahwa lelahku sering ku diskon sendiri, mengurangi apa yang kurasakan agar tidak menerima penghakiman orang lain atau perbandingan dengan apa yang mereka rasakan.

Tendensi yang seperti ini bukannya tidak punya konsekuensi. Meskipun tampak tidak berbahaya, sekarang aku mulai sadar. Setelah menginjak usia dua puluh sekian, aku menyadari kebiasaan ini membuatku tidak menghargai diriku sendiri, merasa tidak pantas mendapat pujian, pencapaian atau istirahat yang aku butuhkan karena merasa tidak bekerja cukup keras, dan terus-menerus merasa tidak berguna karena yakin kalau apa yang aku lakukan belum bisa dibilang sebuah kerja keras. 

Bahkan, saat sedang sakit dan memutuskan untuk ke dokter. Ketika duduk di ruang tunggu, kepalaku entah kenapa akan mulai berpikir kalau penyakitku tidak separah itu sampai harus merepotkan petugas kesehatan di sana, ada banyak pasien lain yang lebih..

Ah, bagaimana aku bisa percaya sudah bekerja keras sementara lelahku sendiri tak mau kuakui?

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar