![]() |
credit pic here |
Kakek Fords menopang dagu
dengan tangan yang menggenggam lengkungan tongkat jalannya. Ia menatap televisi
48” yang mendominasi ruangan. Di layar kaca, pembawa berita meringkas berita
hari itu. Setiap tiga puluh detik, Kakek menghentakkan tongkatnya dan berteriak,”Hell! Kami sudah lakukan itu seratus
tahun yang lalu!”
Emerald dan Lou, masuk ke
dalam ruangan dari balkon. Mereka mencari sesuatu yang langka di tahun
2185—privasi—dengan duduk di barisan paling belakang. Keduanya duduk di
belakang ayah dan ibu Lou, saudara dan saudari ipar, anak dan menantu, cucu
laki-laki dan istrinya, cucu perempuan dan suaminya, cicit laki-laki dan
istrinya—dan tentu saja, Kakek, yang duduk di depan semua orang. Semua orang
terlihat sebaya sesuai standar anti-gerasone kecuali Kakek, yang entah mengapa
terlihat kuyu dan bongkok. Kecuali Kakek, semua orang terlihat seperti masih
berumur akhir dua puluh atau awal tiga puluh. Kakek terlihat lebih tua karena
ia sudah mencapai usia tujuh puluh ketika obat anti-gerasone diciptakan.
“Sementara itu,” ujar
pembawa berita, “Councill Bluff, Iowa, masih merasa terancam oleh tragedi
stark. Namun, 200 penyelamat menolak untuk menyerah dan terus menggali dalam
usaha penyelamatan Elbert Haggedorn, usia 183, yang telah terjepit selama dua hari dalam…”
“Aku harap ia menonton
sesuatu yang lebih ceria,” bisik Emerald pada Lou.
“DIAM!” teriak Kakek.
“Siapapun berikutnya yang berani buka mulut lagi waktu TV masih menyala tidak
akan dapat uang sepeserpun dari warisanku—,” suaranya tiba-tiba memanis dan
melunak, ia melanjutkan, “setelah bendera kotak-kotak melambai di arena balapan
Indianapolis dan kakek tua ini memulai Perjalanan Besar ke Atas Sana.”
Ia mendengus sedih dan haru
sementara para ahli warisnya berusaha tidak membuat suara sekecil apa pun. Bagi
mereka, ketajaman konsep Perjalanan Besar itu sudah sangat tumpul karena selalu
dikatakan Kakek setiap hari selama lima puluh tahun.
“Dr. Brainard Keyes
Bullard,” lanjut pembawa berita, “Rektor Universitas Wyandotte, malam ini mengatakan
bahwa seluruh penyakit di dunia ini berasal dari fakta bahwa pengetahuan
manusia belum sejalan dengan pengetahuan mereka dengan dunia fisik.”
“Hell!” dengus Kakek. “Kami sudah bilang itu seratus tahun yang
lalu!”
“Malam ini, di Chicago,”
pembawa berita melanjutkan, “perayaan spesial digelar di Rumah Sakit Chicago
Lying-in. Tamu kehormatan acara tersebut adalah Lowell W. Hitz, usia nol. Hitz
lahir pagi tadi sebagai bayi ke-dua puluh lima juta yang lahir di rumah sakit
ini. Gambar si Pembawa Berita di televisi memudar digantikan gambar bayi Hitz
yang meronta dan menangis kencang.
“Hell!” bisik Lou pada Emerald. “Kami sudah bilang itu seratus tahun
yang lalu!”
“Aku dengar tahu!” teriak
Kakek. Ia mematikan televisi dan keturunannya yang ketakutan membatu menatap
layar. “Kau, yang disana, nak—”
“Aku tidak bermaksud apapun,
kek,” ucap Lou yang berumur 103 tahun.
“Ambil surat wasiatku. Kau
tahu dimana. Kalian semua tahu dimana surat wasiatku. Ambil, boy!” Kakek menjentikkan jari-jarinya
yang degil tak sabar.
Lou mengangguk lemas dan
segera pergi ke kamar Kakek, satu-satunya ruangan pribadi di apartemen Ford. Ruang
lainnya hanya kamar mandi, ruang tengah, lorong besar tanpa jendela yang
dilengkapi dapur kecil diujung karena seharusnya digunakan untuk ruang makan. Enam
kasur dan empat kantong tidur tersebar di lorong dan ruang tengah, ditambah
satu kasur dipan yang juga terletak di ruang tengah milik pasangan
kesebelas—pasangan kesayangan Kakek saat itu.
Di atas meja tulis kakek,
tergeletak surat wasiatnya yang belepotan tinta, tertekuk-tekuk siku halamannya
dan penuh ratusan noda coretan; penambahan, pengurangan, tuduhan, syarat,
peringatan, saran dan tulisan-tulisan tentang filosofi sederhana. Dokumen itu
sebenarnya, pikir Lou, hanya sebuah buku harian berusia lima puluh tahun.
Semuanya berjejalan dalam lembar-lembar kertas yang kacau dan penuh dengan
catatan tentang perselisihan hari demi hari yang sudah tak bisa terbaca lagi. Hari
ini, hak waris Lou akan dicabut untuk kesebelas kalinya dan mungkin butuh enam
bulan berperilaku baik baginya untuk kembali mendapat hak atas apartemen itu.
Dan tentu, ia dan Em harus berpisah dengan kasur dipan di ruang tengah.
“Boy!” panggil Kakek.
“Aku datang, Kek!” Lou
bergegas kembali ke ruang tengah dan menyerahkan wasiat pada Kakek.
“Pulpen!” tuntut Kakek.
Sontak, sebelas pulpen
ditawarkan padanya, masing-masing dari ke sebelas pasangan.
“Jangan pulpen bocor jelek begitu,”
ucapnya, menampik pulpen di tangan Lou. “Ha, itu.. yang bagus. Anak pintar,
Willy.” Kakek menerima pulpen Willy. Ini petunjuk yang sudah ditunggu semua
orang. Kemudian, Willy—Ayah Lou—adalah kesayangan Kakek yang baru.
Willy yang terlihat hampir
semuda Lou—meskipun ia berumur 142 tahun—tidak repot menyembunyikan
kegembiraannya. Ia melirik malu-malu pada kasur dipan yang akan menjadi
miliknya dan yang dari kasur itu, Lou dan Em akan pindah kembali ke matras di
lorong. Mereka kembali ke tempat paling buruk, di sebelah pintu kamar mandi.
Kakek tidak melewatkan satu drama
pun yang ia tulis di sana. Dengan alis bertaut ia menyusuri setiap baris seolah
surat wasiat itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Kakek, dengan suara monoton
yang dalam, membaca keras-keras. Suaranya menggema seperti nada bass pada organ
katedral.
“Saya, Harold D. Ford,
bertempat tinggal di Gedung 257, Alden Village,
Kota New York, Connecticut, dengan ini membuat, menerbitkan, dan menyatakan ini
sebagai Wasiat dan Perjanjian terakhir dan mencabut semua format wasiat dan lampiran
sebelumnya.” Ia menghela napas dengan sangat serius dan melanjutkan, tanpa
menghilangkan satu kata pun, dan mengulang berkali-kali dengan
penekanan—khususnya mengulang perincian yang terlampau rinci untuk sebuah
pemakaman.
Di akhir rincian tersebut,
Kakek sangat terbawa emosi sampai-sampai Lou pikir Kakek mungkin sudah lupa kenapa
awalnya surat wasiat itu dikeluarkan. Tapi, dengan gagah berani Kakek berhasil
menanggulangi ledakan emosinya dan setelah sibuk mencoret dan menghapus sesuatu
selama satu menit penuh, ia mulai menulis sambil bicara. Lou terlalu sering
mendengar kata-kata itu hingga ia bisa saja menggantikan Kakek
mendeklamasikannya.
“Saya telah mengalami banyak
sekali sakit hati sebelum meninggalkan tanah air mata ini menuju tempat yang lebih
baik,” ujar Kakek sambil menulis. “Namun, rasa sakit yang paling dalam dari
semuanya telah diberikan oleh—,” ia memandang sekeliling, mencoba mengingat
siapa yang bersalah.
Semua orang memandang Lou
yang mengangkat tangan, pasrah.
Kakek mengangguk, ingat dan
melengkapi kalimatnya, “cicitku, Louis J. Ford.”
“Cucu, Kek.” Ucap Lou.
“Jangan bawel. Kau sudah
cukup bersalah, anak muda,” ucap Kakek, tapi ia mengoreksi tulisannya. Dan,
dari sana, ia melanjutkan kalimatnya tanpa kesalahan sedikit pun hingga bagian
pencabutan hak waris dengan alasan ketidaksopanan.
Pada paragraf selanjutnya,
paragraf yang pernah menjadi milik setiap orang di ruangan itu, nama Lou
dicoret dan digantikan Willy sebegai pewaris apartemen dan di atas itu semua,
kepemilikan atas ranjang ganda di ruang tidur pribadi.
“Jadi!” ucap Kakek
berseri-seri. Ia menghapus tanggal di akhir surat wasiat dan menggantinya
dengan tanggal hari itu, lengkap dengan waktu. “Sudah waktunya menonton the McGarvey Family.” The McGarvey Family adalah serial televisi
yang telah diikuti Kakek sejak ia berumur 60, atau totalnya selama 112 tahun.
“Aku tak sabar melihat apa yang akan terjadi,” ujarnya.
Lou memisahkan diri dari
kelompok dan berbaring di tempat tidurnya di samping pintu kamar mandi. Berharap
Em akan bergabung dengannya, ia bertanya-tanya dimana istrinya.
Ia tertidur selama beberapa
menit, sampai seseorang melangkahinya menuju kamar mandi. Beberapa saat
kemudian, ia mendengar suara gemericik seolah sesuatu tengah dituangkan ke
dalam wastafel. Tiba-tiba, terpikir olehnya kalau-kalau Em, di dalam sana
melakukan sesuatu yang buruk untuk menyakiti Kakek.
“Em?” ia berbisik lewat
lubang kunci. Tidak ada jawaban. Lou terus menempel pada pintu, mencoba
mendengarkan suara dari dalam. Kunci pintunya sudah aus, bautnya nyaris tidak
menempel ke soket pengunci yang menaham pintu selama beberapa detik lalu lepas.
Pintu kamar mandi berayun ke dalam, terbuka.
“Morty!” Lou tersentak.
Cucu keponakan Lou,
Mortimer, yang baru saja menikah dan membawa pulang istrinya ke kediaman Ford,
menatap Lou dengan khawatir. Cepat-cepat Morty menendang pintu kamar mandi
hingga menutup. Namun, gerakannya tidak cukup cepat untuk menghalangi Lou
melihat apa yang ada dalam genggaman tangannya—botol besar obat anti-gerasone
milik Kakek, yang ternyata telah setengah kosong dan sedang ia isi kembali
dengan air keran.
Sesaat kemudian, Morty
keluar sambil menatap Lou kemudian berlalu tanpa kata menuju pengantinnya yang
cantik.
Terkejut, Lou tidak tahu
harus berbuat apa. Ia tidak bisa membiarkan Kakek masuk jebakan anti-gerasone
itu—tapi, jika ia memperingatkan Kakek, Lou hampir yakin Kakek akan membuat
hidup mereka (yang sudah tak tertahankan) di apartemen itu, lebih tersiksa.
Lou melirik ruang tengah dan
melihat bahwa keluarga Fords, termasuk Emerald, tengah beristirahat sejenak,
menikmati ilusi yang dibuat the McGarveys
pada hidup mereka. Diam-diam, ia masuk ke kamar mandi, mengunci pintu serapat
mungkin dan mulai menuang isi botol Kakek ke dalam wastafel. Lou akan mengisi
ulang botol itu dengan obat anti-gerasone dari 22 botol kecil yang ada di rak.
Botol itu menampung empat
liter air dan leher botolnya sangat kecil hingga Lou pikir mengosongkan botol
itu akan memakan waktu seumur hidup. Selain itu, Lou yang gugup merasa bau obat
anti-gerasone yang tercium seperti saus Worcestershire mulai menguar lewat
celah pintu dan lubang kunci, memenuhi seluruh apartemen.
Suara botol yang
mengeluarkan air itu berdeguk monoton. Tiba-tiba, terdengar suara musik,
gumaman dan kursi-kursi berdecit mundur dari ruang tengah. “Dengan demikian,
berakhirlah,” ucap penyiar televisi, “episode ke 29.121 dari kehidupan tetangga
saya dan Anda, the McGarveys.”
Langkah kaki terdengar di sepanjang koridor. Sebuah ketukan mendarat di pintu
kamar mandir.
“Sebentar,” jawab Lou dengan
riang. Ia menggoyangkan botol besar itu dengan putus asa, mencoba mempercepat
alirannya. Telapak tangannya tergelincir
di permukaan kaca yang basah dan botol berat itu terselip jatuh, hancur
menghantam lantai ubin.
Pintu kamar mandi didorong
hingga terbuka dan Kakek terngaga menatap kekacauan yang dibuat cucunya. Lou
merasakan sensasi rasa ditusuk yang mengerikan di belakang kepalanya. Ia
menatap penuh perhatian ditengah rasa mual dan sesuatu yang hampir mirip akal
sehat, ia menunggu Kakek bicara.
“Yah, nak..” ucap Kakek
akhirnya, “kelihatannya kau harus membersihkan itu.”
Hanya itu yang ia katakan.
Kakek berbalik, menyikut beberapa orang yang bersesakan di koridor agar membuka
jalan untuknya, dan mengunci di diri kamar.
Anggota keluarga Fords yang
lain masih menatap Lou dalam diam hingga beberapa saat berlalu, dan kemudian
bergegas kembali ke ruang tengah seolah akan tertular rasa bersalah Lou jika
mereka menatap terlalu lama. Morty tinggal paling lama menatap Lou dengan
pandangan bingung dan jengkel. Lalu, ia juga kembali ke ruang tengah,
meninggalkan Emerald berdiri di ambang pintu.
Air mata mengalir di
pipinya. “Oh, kau domba yang malang—kumohon jangan terlihat buruk begitu! Ini
semua salahku. Aku memaksamu melakukan ini dengan keluhan-keluhanku tentang
kakek.”
“Tidak,” ucap Lou setelah
menemukan kembali suaranya, “sungguh bukan kau. Sejujurnya, Em, aku hanya—“
“Kau tidak perlu menjelaskan
apa pun padaku, sayang. Aku di pihakmu, apa pun yang terjadi.” Ia mencium pipi
Lou dan berbisik di telinganya, “ini bukan pembunuhan, sayang. Itu tidak akan
bisa membunuhnya. Bukan hal jahat untuk dilakukan. Itu hanya akan mempersiapkannya
untuk pergi kapanpun Tuhan memutuskan Ia menginginkan Kakek.”
“Apa yang akan terjadi
selanjutnya, Em?” ucap Lou, hampa. “Apa yang akan ia lakukan?”
Lou dan Em terjaga penuh
kengerian hampir sepanjang malam, menunggu apa yang akan Kakek lakukan. Tapi,
tidak satu suara pun terdengar dari kamar tidur yang suci itu. Dua jam sebelum
fajar, mereka akhirnya tertidur.
Pukul enam pagi adalah waktu
untuk generasi mereka sarapan di dapur kecil di ujung lorong. Tidak ada yang
bicara pada mereka. Mereka punya dua puluh menit untuk makan, namun Lou dan Em
sangat kelelahan karena malam yang buruk hingga mereka hanya sanggup menelan
dua suap rumput laut olahan berbentuk telur sebelum menyerahkan tempat mereka
pada anak-anak.
Kemudian, sesuai tradisi untuk
siapapun yang telah dicoret hak warisnya, Lou mulai mempersiapkan sarapan untuk
Kakek yang harus ia sajikan di ranjang, di atas nampan. Mereka mencoba bertingkah
seriang mungkin. Hal paling berat adalah mempersiapkan telur sungguhan, bacon, dan oleomargarin, hal-hal yang
menghasilkan banyak sekali pengeluaran dari harta Kakek.
“Yah,” ujar Emerald, “aku
tidak akan panik sampai ada hal pasti yang harus membuat kita panik.”
“Mungkin ia tidak tahu apa
yang sudah kuhancurkan kemarin,” ucap Lou penuh harap.
“Mungkin ia pikir itu adalah
jam kristalmu,” timpal Eddie, anak laki-laki mereka yang hanya memainkan sawdust
cake dari buckwheat tanpa selera.
“Jangan sarkastik pada
ayahmu,” ucap Em, “dan juga jangan bicara dengan mulut penuh.”
“Aku mau dengan senang hati
melihat siapapun menelan semulut penuh benda ini tanpa mengeluh,” keluh Eddie,
yang berumur 73. Ia melirik jam dinding. “Sudah waktunya Kakek sarapan, kau
tahu.”
“Ya, tentu saja.” Ucap Lou
lemah. Ia mengangkat kedua bahunya. “Berikan nampannya, Em.”
“Kita lakukan berdua.”
Berjalan perlahan, tersenyum
dengan berani.
Em mengetuk pintu, “Kakek,”
panggilnya ceria, “sarapan su-dah si-ap.”
Tak ada jawaban dan Em
mengetuk lagi, lebih keras.
Pintu berayun terbuka. Di
tengah ruangan, ranjang berkanopi yang lembut, empuk, dan luas—simbol
kenyamanan keluarga Fords—tergeletak kosong.
Bayangan kematian, yang
tidak pernah dikenal keluarga Fords seperti halnya Zoroastrianism atau atau
penyebab Pemberontakan India pada 1957, meredam semua suara, memperlambat detak
jantung semua orang. Dalam keterkejutan, para ahli waris mulai menggeledah
dengan hati-hati, di bawah perabotan dan di belakang gorden, mencari Kakek yang
fana, si pemimpin klan.
Tapi Kakek tak meninggalkan
apapun kecuali sebuah catatan, yang telah Lou temukan di atas lemari, di bawah
pemberat kertas, suvenir berharga dari Pekan Raya Dunia tahun 2000. Gemetar,
Lou membaca dengan lantang:
“Seseorang yang telah
kutampung dan kulindungi dan kudidik semampuku selama ini telah berbalik
menyerangku seperi anjing gila dengan mengencerkan anti-gerasone milikku, atau setidaknya
ia mencoba melakukannya. Aku tidak muda lagi. Seperti dulu, aku tidak sanggup
lagi menghadapi beban hidup yang bisa menghancurkanku kapan saja. Maka, setelah
pengalaman pahit semalam, kuucapkan selamat tinggal. Kekhawatiran dunia ini
akan segera jatuh layaknya jubah berduri dan akhirnya akan kudapatkan
kedamaian. Saat kau menemukan cacatan ini, aku sudah tiada.”
“Astaga,” ucap Willy
terbata, “ia bahkan tidak sempat melihat akhir balapan Speedway Race 500 mil.”
“Atau The Solar Series,” ucap Eddie dengan mata berkabung.
“Atau apakah Mrs. Garvey
bisa melihat lagi,” tambah Morty.
“Ada lagi,” ucap Lou dan ia
mulai membaca lagi, “aku, Harold D. Ford, bla.. bla.. bla.. dengan ini membuat,
mencantumkan dan mengumumkan catatan ini sebagai surat wasiat dan keinginanku
yang terakhir, membatalkan seluruh wasiat sebelumnya.”
“Tidak!” erang Willy.
“Jangan lagi!”
“Aku menetapkan,” baca Lou,
“bahwa seluruh properti dalam bentuk apapun, tidak dipecah namun dirancang
untuk diwariskan sebagai milik bersama, tanpa memperhatikan generasi, sama rata
dan berbagi bersama.”
Semua pasang mata berbalik
menatap ranjang .
“Sama rata dan berbagi
bersama?” tanya Morty.
“Sebetulnya,” ucap Willy, yang
paling tua, “seperti budaya jaman dahulu, ketika yang tertua memimpin dan
bermarkas di sini dan—”
“Aku setuju usul itu!” seru Em. “Lou sama berhaknya
seperti dirimu, dan menurutku itu seharusnya menjadi hak dari anak tertua yang
masih bekerja. Kau bisa bermalas-malasan di sini seharian, menunggu uang
pensiunanmu dan Lou tersandung-sandung untuk istirahat di ruangan ini malam
hari setelah seharian bekerja, dan—”
“Bagaimana dengan memberikan
kesempatan pada seseorang yang belum pernah mendapatkan privasi sama sekali?”
Eddie menuntut dengan keras. “Demi setan! Kalian orang tua punya banyak privasi
ketika masih anak-anak. Aku lahir di tengah-tengah barak di lorong apartemen
ini! Bagaimana kalau—”
“Ya?” tantang Morty. “Tentu,
kau selalu kesusahan dan hatiku teriris mendengarnya. Tapi cobalah kau berbulan
madu di lorong sekali saja.”
“Diam!” teriak Willy dengan angkuh. “Siapapun berikutnya yang buka
mulut akan menghabiskan enam bulan di depan kamar mandi. Sekarang keluar dari
kamarku. Aku harus berpikir.”
Sebuah vas hancur menghantam
dinding, beberapa inchi di atas kepalanya.
Beberapa saat kemudian, keributan
pecah dalam apartemen Fords. Masing-masing pasangan berjuang mengeluarkan
pasangan lain dari kamar itu. Em dan Lou didorong ke ruang tengah, tempat
mereka mendorong pasangan lain dan kembali berusaha masuk ke kamar.
Setelah dua jam pergumulan
dan tak satu pun keputusan untuk berdamai terlihat, polisi menerobos masuk
diikuti juru kamera televisi.
Selama setengah jam, mobil
polisi dan ambulans mengangkut anggota keluarga Fords pergi. Setelahnya, apartemen
Fords kembali tenang dan lengang.
Satu jam kemudian, rekaman
akhir keributan itu disiarkan kepada 500.000.000 penonton di seluruh Pesisir
Timur.
Dalam kekosongan tiga
ruangan apartemen di lantai 76, gedung 257 itu, televisi di ruang tengah
ditinggalkan menyala. Sekali lagi, udara dipenuhi teriakan dan sungut marah,
suara keributan yang tidak berbahaya pecah keluar dari pengeras suara.
Keributan itu juga
ditayangkan pada layar kaca televisi di kantor polisi. Tempat para polisi dan
anggota keluarga Fords menonton dengan perhatian penuh.
Em dan Lou bersebelahan menempati
sel empat kali delapan meter, berselonjoran di ranjang masing-masing.
“Em,” panggil Lou lewat
pembatas, “kau punya wastafel sendiri juga?”
“Tentu. Wastafel, ranjang,
lampu—semuanya. Dan kita pikir kamar Kakek itu spesial. Sudah berapa lamaini
terjadi?” Ia merentangkan tangannya. “Untuk pertama kalinya setelah empat puluh
tahun, sayang, aku tidak lagi merasa gelisah—lihatlah aku!”
“Baiklah, diam!” ucap sipir
penjara, “atau kulempar kalian semua keluar dari sini. Dan orang pertama yang
memberitahu siapa pun di luar sana seberapa bagusnya penjara, ia tak akan
pernah masuk lagi!”
Para tahanan sontak diam.
Ruang tengah apartemen itu
menggelap beberapa saat ketika adegan keributan di layar televisi memudar, lalu
cahaya kembali terang ketika wajah penyiar berita muncul di layar seperti matahari
muncul dari balik awan. “Dan sekarang, kawan,” ucapnya, “akan kusampaikan pesan
dari pembuat anti-gerasone, pesan untuk kalian yang berusia lebih dari 150
tahun. Apakah kehidupan sosial kalian tertanggu oleh kulit keriput, kekakuan
sendi, dan rambut beruban? Semua yang terjadi sebelum anti-gerasone diciptakan?
Kalau iya, kalian tidak perlu menderita, merasa berbeda, dan terasingkan lebih
lama lagi.
“Setelah penelitian bertahun-tahun, kini telah tercipta Super-anti-gerasone! Dalam beberapa
minggu—ya, minggu—kalian dapat terlihat, merasa dan bertingkah semuda anak cucu
kalian! Tidakkah kalian ingin membayar 5.000 dolar untuk dapat membaur dengan
orang lain? Tidak perlu! Untuk Super0-anti-gerasone
yang aman dan telah diuji kalian hanya perlu membayar beberapa dolar saja
perhari.
“Untuk mendapatkan sample gratis, tulis nama dan alamat
Anda di kartu post satu dolar dan kirimkan ke ‘Super’, PO BOX 500.000 Schenectady, N. Y.”
Kata-kata penyiar berita itu
digarisbawahi suara goresan pena Kakek Ford, pena yang diberikan Willy pada malam
sebelumnya. Ia datang beberapa menit yang lalu setelah menghabiskan waktu di
kedai The Idle Hour, yang menghadap
langsung pada gedung 257 dari seberang alun-alun The Alden Village Green. Ia memanggil petugas kebersihan untuk
membereskan kamar itu. Ia juga menyewa pengacara terbaik di kota—seorang jenius
yang belum pernah medapat klien selama setahun satu hari—untuk menuntut pada
para ahli warisnya. Kakek memindahkan ranjang ke depan televisi agar ia bisa
menonton sambil berbaring, sesuatu yang ia mimpikan selama bertahun-tahun.
“Schen-ec-ta-dy,” gumam Kakek. “Dapat!” wajahnya berubah drastis. Otot
wajahnya terlihat santai, memperlihatkan kebaikan dan ketenangan batin yang
tersembunyi di bawah garis tempramen yang keras. Hampir terlihat seperti ia
sudah mendapatkan sample gratis Super-anti-gerasone miliknya. Ketika
sesuatu di televisi membuatnya terhibur, ia tersenyum dengan ringan. Tidak
seperti biasanya ketika ia nyaris tak berusaha menarik garis mulutnya barang
satu milimeter saja.
Hidupnya menyenangkan. Ia
tak sabar melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
0 komentar