
Sejauh yang kutahu, satu-satunya orang yang pernah mengganti lirik lagu Yesterday milik The Beatles dengan bahasa Jepang (dan melakukannya dengan dialek Kansai yang sangat kental) adalah laki-laki bernama Kitaru. Ia selalu menyanyikan versinya itu saat sedang mandi.
Kemarin
Adalah dua hari sebelum
besok
Dan satu hari setelah dua
hari yang lalu
Begitu awalnya, seingatku,
tapi sudah lama aku tidak mendengarnya jadi aku tidak yakin betul. Dari awal
sampai akhir, lirik Kitaru hampir tidak bermakna, tidak berhubungan sama sekali
dengan lirik aslinya. Melodi yang indah dan melankolis itu dipasangkan dengan
dialek Kansai yang semilir—yang mungkin bertolak belakang dengan
kesedihan—menghasilkan kombinasi yang aneh, penolakan berani atas segala
konstruksi. Setidaknya, menurutku. Saat itu, aku hanya mendengarkan sambil
geleng-geleng kepala. Aku bisa menertawakannya, tapi aku juga membaca sebuah indikasi
tersembunyi di dalamnya.
Aku bertemu Kitaru pertama
kali di sebuah kedai kopi dekat gerbang utama Universitas Waseda, dimana kami
bekerja paruh waktu, aku di bagian dapur dan Kitaru sebagai pramusaji. Kami
sering ngobrol saat senggang di kedai. Kami berdua dua puluh tahun, dan hari
ulang tahun kami hanya berjarak seminggu.
“Kitaru itu nama yang nggak biasa,” ujarku suatu hari.
“Ya, jelas,” jawab Kitaru
dengan dialek Kansai yang kental.
“Tim baseball Lotte punya pitcher bernama Kitaru juga.”
“Kami nggak bersaudara. Walaupun nama Kitaru nggak umum, tapi siapa yang tahu? Mungkin ada hubungan juga.”
Aku mahasiswa semester
empat di Universitas Waseda, jurusan sastra. Kitaru gagal ujian masuk dan
sedang kursus untuk ujian ulang. Sebenarnya, dia gagal ujian masuk dua kali,
tapi melihat tingkahnya kau tidak akan menyangka. Kelihatannya dia tidak
berusaha keras untuk belajar. Saat senggang, ia membaca buku-buku yang tidak
berhubungan dengan ujian—biografi Jimi Hendrix, buku rumus shogi (catur
jepang), “Where did the Universe Come
From?”, dan lain sebagainya. Dia bilang padaku kalau dia brangkat ke tempat
kursus dari rumah orang tuanya di Ota Ward, Tokyo.
“Ota Ward?” tanyaku, heran.
“Tapi aku yakin betul kau dari Kansai.”
“Mana mungkin. Denenchofu,
lahir dan besar.”
Aku benar-benar tidak
menyangka.
“Lalu, kok bisa kau bicara dengan dialek Kansai?”
“Aku mendapatkanya. Cukup
membulatkan tekad untuk mempelajarinya.”
“Mendapatkannya?”
“Iya. Aku belajar giat,
lihat? Verba, nomina, aksen—sembilan tahun. Sama seperti belajar bahasa
Inggrish atau bahasa Perancis. Bahkan aku ke Kansai untuk latihan.”
Jadi, ada ya orang yang belajar
dialek Kansai seperti belajar bahasa asing? Ini jelas hal baru untukku. Itu
membuatku menyadari betapa besarnya Tokyo, dan betapa banyaknya hal yang aku
tidak tahu. Aku teringat novel “Sanshiro”.
“Saat masih kecil, aku
penggemar berat Hanshin Tiger,” jelas Kitaru. “Kapan pun mereka main di Tokyo,
aku pasti nonton. Tapi, kalau aku duduk di tribun fan mereka dan bicara dengan dialek Tokyo, tidak ada yang mau
bicara denganku. Aku tidak bisa membaur dengan komunitas mereka. Jadi kupikir,
aku harus belajar dialek Kansai, dan aku belajar sangat keras untuk itu.”
“Itu motivasimu?” Aku tidak
percaya.
“Iya. Sebesar itu artinya
Hanshin Tiger untukku,” jawab Kitaru. “Sekarang, aku bicara hanya dengan dialek
Kansai—di sekolah, di rumah, bahkan dalam mimpi saat sendang mengigau. Dialekku
hampir sempurna, kan?”
“Banget. Aku bahkan yakin kau dari Kansai,” ujarku.
“Kalau aku belajar untuk
ujian masuk sekeras aku belajar dialek Kansai, aku nggak akan jadi pecundang seperti sekarang.”
Dia benar. Bahkan caranya
menyalahkan diri sendiri mirip orang Kansai.
“Jadi, kau dari mana?”
tanya Kitaru.
“Kansai. Dekat Kobe,”
jawabku.
“Dekat Kobe? Dimana?”
“Ashiya,” ujarku.
“Wah, keren. Kenapa nggak
bilang dari awal?”
Aku menjelaskan. Ketika
orang bertanya darimana asalku dan kujawab Ashiya, mereka selalu berasumsi
kalau keluargaku kaya. Tapi di Ashiya ada segala lapisan, dari kalangan atas
sampai bawah. Keluargaku, contohnya, tidak terlalu berada. Ayahku bekerja di
perusahaan farmasi dan Ibuku seorang pustawakan. Rumah kami kecil dan mobil
kami Corolla warna krem. Jadi, ketika orang bertanya darimana asalku, aku
selalu menjawab “dekat Kobe”, jadi mereka tidak punya ekspektasi tinggi
tentangku.
“Bung, kedengarannya kita
sama,” ujar Kitaru. “Alamatku di Denenchofu—daerah yang lumayan elit—tapi
rumahku ada di tempat paling kumuh di kota. Rumahnya kumuh juga. Kau harus main
kapan-kapan. Reaksimu pasti, Hah? Ini
Denenchofu? Nggak mungkin? Tapi khawatir tentang hal seperti itu nggak penting,
kan? Itu cuma alamat. Aku lebih suka sebaliknya, terang-terangan saja bilang
aku dari Den-en-cho-fu, gimana? Ha?”
Aku terkesan dan setelah
itu kemi berteman.
Sampai aku lulus dari SMA,
aku cuma bisa bicara dengan dialek Kansai. Tapi aku cuma butuh sebulan di Tokyo
untuk fasih bicara dengan dialek Tokyo. Aku sendiri heran bisa beradaptasi
secepat itu. Mungkin karena kepribadianku mirip bunglon. Atau mungkin juga
kemampuan berbahasaku lebih baik daripada kebanyakan orang. Bagaimana pun juga,
tidak ada yang percaya aku berasal dari Kansai.
Alasan lain kenapa aku
berhenti menggunakan dialek Kansai adalah karena aku ingin berubah.
Saat pindah dari Kansai ke
Tokyo untuk kuliah, aku menghabiskan seluruh perjalanan dalam Shinkansen—kereta
peluru—untuk mereview delapan belas tahun hidupku dan hampir semua yang terjadi
sangat memalukan. Aku tidak melebih-lebihkan. Aku tidak mau lagi
mengingatnya—sangat menyedihkan. Semakin aku memikirkan kehidupanku dulu,
semakin aku membenci diriku sendiri. Bukan berarti aku tidak punya kenangan
baik, tentu aku punya. Senggengam
pengalaman indah. Tapi kalau kau menambahkan kenangan pedih ke dalamnya,
yang memalukan justru lebih banyak dari yang menyenangkan. Saat kupikirkan lagi
bagaimana caraku menjali hidup selama ini, rasanya semuanya sia-sia dan tidak
berguna. Sampah kelas-menengah yang tidak imajinatif, dan aku ingin
mengumpulkan semuanya lalu kujejalkan ke dalam laci di suatu tempat. Atau dibakar, aku ingin lihat semuanya berubah
menjadi asap (walau asap macam apa yang terbentuk dari sampah kenangan semacam
itu, aku tidak tahu). Jadi, aku ingin menyingkirkan semuanya dan memulai hidup
baru di Tokyo sebagai personal yang baru. Membuang dialek Kansai adalah metode
praktis (juga simbolis) untuk melakukannya. Karena, dalam analisis final,
bahasa yang kita gunakan mendefinisikan siapa kita sebagai manusia. Paling
tidak begitulah menurutku saat delapan belas tahun.
“Malu? Apa yang begitu
memalukan?” Kitaru bertanya padaku.
“Semuanya.”
“Kau nggak punya teman?”
“Aku punya,” ujarku. “Tapi
tetap saja memalukan. Bergaul dengan mereka saja bikin malu.”
“Kau aneh, tahu nggak?” ujar Kitaru. “Apa yang memalukan
dari bergaul dengan temanmu? Aku asik
saja dengan temanku.”
Aku tidak bisa menjelaskan.
Apa jeleknya punya mobil Corolla warna krem? Aku tidak bisa menjawab. Orang
tuaku tidak suka menghabiskan uang untuk penampilan, itu saja.
“Orang tuaku selalu rewel
karena aku nggak belajar. Aku nggak suka, tapi mau ‘gimana? Itu tugas
mereka. Biarkan saja, tau?”
“Kau ini santai, ya?”
ujarku.
“Kau punya pacar?” tanya
Kitaru.
“Sekarang, nggak.”
“Sebelumnya punya?”
“Belum lama.”
“Kalian putus?”
“Iya,” jawabku.
“Kenapa kalian putus?”
“Ceritanya panjang. Aku nggak mau cerita.”
“Dia mengizinkanmu menidurinya?”
Aku menggelang, “Nggak juga.”
“Itu alasan kalian putus?”
Aku berpikir sejenak.
“Sebagian.”
“Tapi kau boleh
menyentuhnya sampai mana?”
“Cuma langkah ketiga.”
“Sampai mana sebenarnya?”
“Aku nggak mau cerita.”
“Ini salah satu hal memalukan yang kau sebut tadi?”
“Ya,” jawabku.
“Bung, hidupmu rumit banget,” ujar Kitaru.
Pertama kali aku mendengar
Kitaru menyanyikan “Yesterday” dengan lirik gilanya, ia sedang mandi di
rumahnya, di Denenchofu (yang, sebenarnya, bukan rumah kumuh di lingkungan
kumuh, tapi rumah biasa di lingkungan biasa, agak tua, tapi lebih besar
daripada rumahku di Ashiya, sangat tidak mencolok—dan kebetulan, mobil yang
diparkir di garasi adalah Golf warna biru tua, keluaran terbaru). Kapanpun
Kitaru pulang, ia bergegas menanggalkan semuanya dan masuk kamar mandi. Dan
begitu dia masuk bak mandi, ia akan berendam lama sekali. Jadi aku menarik
bangku bundar ke dalam ruang ganti di depan kamar mandi dan duduk di sana,
dibatasi pintu geser yang terbuka kurang lebih satu inchi, kami berbicara.
“Lirik itu gak masuk akal,”
kataku padanya. “Kedengarannya seperti kau mengolok-olok lagu ‘Yesterday’.”
“Jangan sok pintar. Aku
bukannya mengolok-olok. Bahkan kalaupun aku memang mengejek lagunya, kau harus
ingat klau John suka permainan kata yang nggak
masuk akal, kan?”
“Tapi lirik dan musik
Yesterday ditulis oleh Paul.”
“Kau yakin?”
“Pasti,” ujarku mantap.
“Paul menulis dan merekam lagu itu sendiri di studio dengan gitar. Setelahnya
baru ditambah string quartet, tapi member The Beatles yang lain tidak ikut
campur sama sekali. Mereka bilang lagu itu terlalu payah untuk mereka.”
“Oh ya? Aku nggak tahu informasi istimewa semacam
itu.”
“Itu bukan informasi
instimewa, itu pengetahuan umum,” ujarku.
“Siapa peduli? Itu cuma
detil kecil,” ujar Kitaru dengan tenang dari balik uap air panas. “Aku
bernyanyi di kamar mandiku, di rumahku. Nggak
direkam atau apapun. Aku nggak
melanggar hak cipta atau menggagu siapa pun. Kau nggak punya hak untuk protes.”
Dan dia mulai menyanyikan
bagian refrain, suaranya lantang dan jelas. Kitaru menyanyikan nada tinggi
dengan pas. Aku bisa mendengar ia mencepukkan air sebagai iringan. Mungkin aku
harusnya ikut bernyanyi untuk memberi semangat, tapi aku tidak bisa memaksa
diriku ikut bernyanyi. Duduk di ruang ganti, menemaninya ngobrol berbatas pintu
geser selagi ia berendam di bak mandi selama berjam-jam tidak terlalu
menyenangkan.
“Tapi, bagaimana kau bisa
berendam di bak mandi berjam-jam?” tanyaku, “Apa kulitmu nggak bengkak?”
“Saat aku berendam lama di
bak mandi, aku dapat banyak inspirasi,” ujar Kitaru.
“Maksudmu seperti lirik nggak jelas itu?”
“Yah, salah satunya,” ujar
Kitaru.
“Daripada menghabiskan
banyak waktu berpikir di bak mandi, bukannya sebaiknya kau belajar untuk ujian
masuk kuliah?” tanyaku.
“Aaah, kau memang perusak
suasana. Ibuku juga bilang begitu. Kau terlalu muda untuk jadi, kayak, orang bijaksana atau semacamnya?”
“Tapi, kau sudah kursus
selama dua tahun. Apa kau nggak
bosan?”
“Sudah pasti. Tentu aku ingin
masuk kuliah secepat mungkin.”
“Lalu, kenapa nggak belajar lebih keras?”
“Yah—Em,” ujarnya,
perlahan. “Kalau aku bisa belajar lebih keras, tentu sudah kulakukan.”
“Kuliah nggak begitu menyenangkan,” ujarku.
“Begitu masuk, aku langsung kecewa. Tapi nggak
kuliah malah lebih buruk lagi.”
“Benar juga,” ujar Kitaru.
“Aku nggak bisa membantah soal itu.”
“Jadi, kenapa kau nggak
belajar?”
“Kekurangan motivasi,”
jawabnya.
“Motivasi?” ujarku.
“Bukannya bisa kencan dengan pacarmu jadi motivasi yang bagus?”
Ada seorang gadis yang
sudah dikenal Kitaru sejak mereka sekolah dasar. Bisa dibilang, teman masa
kecil. Mereka satu angkatan tapi tidak seperti
Kitaru, gadis itu langsung masuk ke Universitas Shopia setelah lulus SMA. Dia
kuliah jurusan sastra Perancis dan bergabung di klub tennis. Kitaru pernah
menunjukkan fotonya dan dia cantik sekali. Figurnya cantik, wajahnya ceria. Tapi
keduanya tidak lagi sering bertemu. Mereka memutuskan lebih baik tidak
berkencan sampai Kitaru lulus ujian masuk kuliah, jadi dia bisa fokus belajar. Kitaru
lah yang menyarankan hal itu.
“Baiklah,” kata si gadis,
“kalau itu maumu.” Mereka sering mengobrol di telepon tapi bertemu hanya
seminggu sekali, dan pertemuan itu lebih mirip wawancara ketimbang kencan. Mereka
minum teh, ngobrol tentang kegiatan sehari-hari. Bergandengan tangan dan betukar
ciuman kecil, dan kencannya hanya sampai di situ.
Kitaru bukan cowok yang
bisa kau sebut ganteng, tapi tampangnya lumayan. Dia kurus, rambut dan pakaiannya
sederhana tapi keren. Selama dia tidak berbicara, kau akan berpikir Kitaru
adalah pemuda sensitif, tipikal pemuda kota. Mungkin kekurangan Kitaru hanya
wajahnya yang sedikit lebih tirus dan mulus, memberi kesan kurang tegas. Tapi,
segera setelah ia buka mulut, semua efek positif dan ekspektasi tinggi itu akan
runtuh seperti kastil pasir di bawah kaki seekor Labrador retriever yang riang.
Dialek Kansai yang ia ucapkan dengan dengan nada tinggi dan sedikit menusuk
telinga lebih sering membuat orang kaget dan cemas. Ketidakcocokan itu bahkan
bagiku, awalnya, agak tidak bisa diterima.
“Hey, Tanimura, apa kau
tidak kesepian tanpa pacar?” Kitaru bertanya padaku keesokan harinya.
“Tentu, tidak bisa
kusangkal,” ujarku.
“ ‘Gimana kalau kau kencan dengan
cewekku?”
Aku tidak mengerti. “Apa
maksudmu—kencan dengan dia?”
“Dia gadis baik. Cantik,
tulus, pintar kayak paket komplit. Kalau
kau kencan dengannya, kau nggak akan
menyesal. Aku jamin.”
“Aku juga yakin,” ujarku.
“Tapi kenapa aku harus kencan dengan pacarmu? Nggak masuk akal.”
“Karena kau cowok baik,” ujar Kitaru. “Kalau bukan mana
mungkin aku mengusulkan hal ini. Erika dan aku sudah bersama seumur hidup kami.
Kami seperti, sudah otomatis jadi pasangan, dan semua orang di sekeliling kami
mendukung. Teman, orang tua, bahkan guru kami. Pasangan kecil yang sangat lengket,
selalu bersama.”
Kitaru menggenggam kedua
tangannya, mengilustrasikan.
“Kalau kami berdua langsung
masuk kuliah, hidup kami akan aman dan nyaman, tapi aku gagal di ujian masuk
dan beginilah jadinya. Aku tidak tahu kenapa pastinya, tapi keadaan jadi
semakin buruk saja. Aku tidak menyalahkan siapa pun—semuanya salahku.”
Aku mendengarkan Kitaru
dalam diam.
“Jadi, aku ingin kami agak
memisahkan diri,” ujar Kitaru. Ia melepaskan kedua tangannya yang tergenggaman.
“Kenapa?” tanyaku.
Kitaru memandangi telapak
tangannya beberapa saat lalu bicara. “Maksudku adalah, ada sebagian dari diriku
seperti, khawatir, kau tahu? Maksudnya, aku masuk les khusus—yang menjemukan,
belajar untuk ujian masuk—yang juga menjemukan, sedang Erika punya kesempatan
besar di universitas. Main tenis, melakukan apapun yang ia suka. Punya teman
baru, dan sejauh yang kutahu, mungkin juga kencan dengan cowok kenalan barunya. Kau tahu maksudku?”
“Ya, kurang lebih,” ujarku.
“Tapi, bagian diriku yang
lain, seperti—lega? Kalau kami tetap seperti sebelumnya, tanpa masalah apapun,
pasangan serasi yang hubungannya berjalan mulus. Lulus kuliah dan menikah, punya dua anak yang sekolah di SD
Denenchofu, jalan-jalan di tepi sungai Tama setiap hari Minggu, bla.. bla..
bla.. Aku tidak bilang hidup seperti itu tidak baik, hanya saja, aku selalu
bertanya-tanya apakah hidup bisa semudah itu, senyaman itu. Mungkin lebih baik
kalau kami berpisah sebentar, dan setelahnya jika memang tidak bisa hidup tanpa
satu sama lain maka kami bisa kembali bersama.”
“Jadi, menurutmu hidup yang
lancar dan nyaman itu masalah. Begitu?”
“Ya, kurang lebih begitu.”
“Tapi, kenapa aku harus jalan dengan pacarmu?” tanyaku.
“Menurutku, jika dia harus jalan dengan orang lain, lebih baik
denganmu. Karena aku mengenalmu. Dan kau bisa cerita padaku tentang, yah,
perkembangan dan lainnya.”
Itu tidak masuk akal,
walaupun harus kuakui aku tertarik dengan tawaran bertemu Erika. Aku juga ingin
tahu kenapa gadis cantik sepertinya mau pacaan dengan orang aneh macam Kitaru. Aku
memang agak malu pada orang baru, tapi aku tetap ingin tahu.
“Sejauh mana kau pacaran
dengannya?” tanyaku.
“Maksudmu, sex?” ujar Kitaru.
“Iya, sudah pernah?”
Kitaru menggeleng. “Aku nggak bisa. Aku sudah mengenalnya sejak
kecil, jadi agak memalukan saat memulai. Kau tahu? Menanggalkan baju,
menciumnya, menyentuh dan semacamnya. Kalau cewek
lain mungkin tidak masalah, tapi dengan Erika. Membayangkan saja rasanya sudah
salah. Paham?”
Aku tidak paham.
“Aku nggak bisa jelaskan,”
ujar Kitaru. “Kayak, kalau kau
masturbasi, kau membayangkan seseorang kan? Cewek?”
“Ya,” ujarku.
“Tapi aku nggak bisa membayangkan Erika. Rasanya
aku melakukan hal yang salah. Jadi saat aku melakukannya, aku membayangkan
gadis lain. Seseorang yang tidak begitu aku sukai. Bagaimana menurutmu?”
Aku berpikir lagi, tapi
tidak bisa menemukan konklusi apapun. Kebiasaan masturbasi orang lain di luar
jangkauanku. Lagipula, ada hal-hal yang tidak bisa kumengerti.
“Pokoknya, kita ketemuan saja dulu. Kita bertiga,” ujar
Kitaru. “Setelahnya, kau bisa pikirkan lagi.”
Kami bertiga—aku, Kitaru
dan pacarnya, Erika Kuritani—bertemu di sebuah kedai kopi dekat stasiun
Denenchofu pada hari Minggu. Dia hampir setinggi Kitaru, kulitnya yang agak
kecoklatan dibungkus blus putih yang disetrika rapi dan rok mini warna biru
tua. Contoh sempurna mahasiswi dari perguruan tinggi terkemuka. Erika secantik
fotonya, tapi yang membuatku tertarik pada gadis itu bukan kecantikannya,
melainkan gelora semangat yang memancar darinya. Dia kebalikan dari Kitaru.
“Aku sangat senang Aki-kun
akhirnya punya teman,” ujar Erika. Nama depan Kitaru adalah Akiyoshi. Erika
adalah satu-satunya orang di dunia ini yang memanggilnya Aki-kun.
“Jangan berlebihan. Aku
punya banyak teman,” ujat Kitaru.
“Nggak ada, kamu nggak
punya teman, orang sepertimu nggak
bisa punya teman. Kamu lahir di Tokyo, tapi bicaramu seperi orang Kansai dan
kamu selalu bicara hal-hal menyebalkan seperti Hanshin Tiger atau film shogi. Mana
mungkin orang aneh kayak kamu bisa
bergaul dengan orang normal.”
“Yah, kalau kamu mau membahas
itu, orang ini juga aneh,” Kitaru menunjukku. “Dia dari Ashiya tapi bicaranya
seperti orang Tokyo.”
“Itu sudah lumrah,” ujar
Erika. “Setidaknya lebih umum daipada kebalikannya.”
“Tunggu dulu—ini
diskriminasi kultur,” ujar Kitaru. “Semua budaya itu setara. Dialek Tokyo tidak
lebih baik daripada Kansai.”
“Mungkin setara,” kata
Erika. “Tapi sejak Restorasi Meiji, dialek Tokyo sudah jadi standar berbahasa
di Jepang. Maksudku, memang ada yang menerjemahkan ‘Franny and Zooey’ ke dalam
dialek Kansai?”
“Kalau memang ada, aku
pasti beli,” ujar Kitaru.
Aku mungkin juga akan beli,
pikirku dalam hati.
Dengan bijaksana, daripada
masuk lebih dalam ke diskusi tersebut, Erika Kuritani menggani topik.
“Ada cewek di klub tennisku yang juga orang Ashiya,” ujarnya, menoleh
padaku. “Eiko Sakurai. Apa kamu mengenalnya?”
“Ya, aku kenal,” ucapku.
Eiko Sakurai, gadis tinggi dan kurus, orang tuanya menjalankan bisnis golf. Gadis
congkak berdada rata dengan bentuk hidung aneh dan kepribadian yang tidak
begitu baik. Satu-satunya hal yang ia kuasai hanya tenis.
“Dia pemuda baik, dan
sedang tidak punya pacar,” ucap Kitaru pada Erika. “Tampangnya lumayan,
sikapnya baik, dan dia tahu banyak hal. Dia rapi dan bersih, seperti yang kau
lihat, tidak punya penyakit mengerikan. Menurutku, ia pemuda yang menjanjikan.”
“Baiklah,” ujar Erika. “Ada
beberapa member baru di klub kami,
gadis-gadis cantik, dengan senang hati akan kuperkenalkan padamu.”
“Tidak, bukan itu
maksudku,” ujar Kitaru. “Bisakah kau
kencan dengannya? Aku belum kuliah dan aku tidak bisa kencan denganmu. Daripada
aku, kau bisa kencan dengannya. Dengan begitu, aku tidak perlu khawatir.”
“Apa maksudmu, kau tidak
perlu khawatir?” tanya Erika.
“Maksudku, seperti, aku
mengenal kalian berdua, dan aku akan merasa lebih baik kalau kau kencan
dengannya daripada pemuda lain yang tidak pernah kutemui sebelumnya.”
Erika menatap Kitaru
seperti ia tidak bisa mempercayainya matanya sendiri. Akhinya, ia bicara.
“Jadi, tidak masalah jika aku kencan dengan orang lain asal orang itu
Tanimura-kun ini? Kau sunguh-sungguh mengusulkan kami jalan, kencan? Begitu?”
“Ayolah, bukan ide buruk,
kan? Atau kamu sedang kencan dengan orang lain?”
“Tentu saja tidak,” jawab
Erika lirih.
“Jadi, kenapa tidak kencan
saja dengannya? Ini bisa jadi semacam pertukaran budaya.”
“Pertukaran budaya? Apa
maksudnya?” ia bertanya pada Kitaru.
“Seperti, kau tahu, mencari
sudut pandang lain mungkin bukan ide buruk untuk kita…”
“Menurutmu, itu yang
namanya pertukaran budaya?”
“Yah, maksudku itu…”
“Baiklah,” ucap Erika
Kuritani mantap. Jika kebetulan aku sedang memegang pencil, mungkin aku sudah
mematahkannya jadi dua. “Jika kau pikir sebaiknya kita lakukan, Aki-kun, oke. Ayo
bertukar budaya.”
Ia menyesap teh lalu
mengembalikan cangkirnya pada lepek, menoleh padaku dan ersenyum. “Karena
Aki-kun mengusulkan kita melakukan ini, Tanimura-kun, ayo kita pergi kencan. Kedengarannya
menyenangkan. Kapan kamu ada waktu?”
Aku tercekat, tidak bisa
bicara. Tidak bisa menemukan kata yang tepat pada saat krisis adalah satu dari
banyak masalahku.
Erika mengeluarkan planner bersampul kulit dari tas,
membukanya dan mengecek jadwal. “Bagaimana kalau Sabtu ini?” tanya Erika.
“Aku tidak ada jadwal,”
jawabku.
“Sabtu kalau begitu. Kemana
kita kencan?”
“Dia suka film,” ujar
Kitaru pada Erika. “ Ia ingin menulis skenario suatu saat nanti.”
“Ke bioskop saja kalau
begitu. Film seperti apa yang akan kita tonton? Kamu saja yang putuskan,
Tanimura-kun. I tidak suka film horor, tapi, selain itu apa saja boleh.”
“Dia ini penakut sekali,”
ucap Kitaru padaku. “Saat kami masih kecil dan masuk ke rumah hantu di
Korakuen, dia terus memegangi tanganku dan—”
“Setelah nonton, kita bisa
makan bareng,” ujar Erika, menyela
Kitaru. Ia menulis nomor telponnya di kertas dan memberikannya padaku. “Kalau
sudah tahu tempat dan waktunya, bisakah kau menelponku?”
Aku tidak punya telepon
saat itu (kejadian ini jauh sebelum ada telepon genggam), jadi aku memberikan
nomor telepon kedai kopi tempat Kitaru dan aku bekerja pada Erika. Aku melirik
jam tanganku.
“Maaf, tapi aku harus
pergi,” ucapku, seriang mungkin. “Aku punya laporan yang harus selesai besok.”
“Tidak bisa dikerjakan
nanti saja?” ucap Kitaru. “Kita baru saja sampai. Tinggal lah sebenar lagi supaya
kita bisa ngobrol sedikit. Ada toko mie yang enak banget di pojok situ.”
Erika diam saja. Aku
meletakkan uang kopi di meja dan berdiri. “Laporannya penting sekali,” jelasku,
“jadi benar-benar nggak bisa
ditinggalkan.” Sebenarnya, laporan itu tidak begitu penting.
“Aku akan menelpon besok
atau lusa,” ucapku pada Erika.
“Aku tunggu,” ujarnya, senyum
manis muncul di bibirnya. Senyum yang, setidaknya bagiku, sedikit terlalu bagus
untuk jadi nyata.
Aku meninggalkan kedai kopi
dan selagi berjalan menuju stasiun aku bertanya-tanya apa yang tengah
kulakukan. Merenungkan bahwa ternyata—setelah semuanya telah diputuskan—hal ini
menjelma sebuah masalah kronis.
Sabtu, aku dan Erika bertemu di Shibuya. Kami menonton film Woody Allen yang berlatar di New York. Entah bagaimana, aku punya perasaan dia mungkin menyukai film-film Woody Allen. Dan aku agak yakin Kitaru tidak pernah mengajak Erika menonton Woody Allen. Untungnya, filmnya bagus dan kami meninggalkan bioskop dengan perasaan riang.
Kami jalan-jalan menyusuri jalanan kala senja, kemudian pergi ke restoran italia kecil di Sakuragaoka, makan pizza dan Chianti. Restorannya kasual dengan harga terjangkau, pencahayaannya lumayan dengan lilin di atas meja. (Kebanyakan restoran italia kala itu menggunakan lilin di atas meja dan taplak meja jenis gingham.) Kami berbincang tentang banyak hal, jenis percakapan dua mahasiswa tahun kedua saat kencan pertama (kalau bisa disebut kencan pertama). Film yang baru saja kami tonton, kehidupan perkuliahan, hobi. Lebih dari dugaanku, kami menikmati obrolan itu, Erika bahkan beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Aku tidak mau membual, tapi sepertinya aku punya bakat membuat gadis tertawa.
“Aku dengar dari Aki-kun kalau kamu belum lama putus dengan pacarmu?” tanya Erika.
“Ya, begitulah,” jawabku. “Kami pacaran hampir tiga tahun, Sayangnya tidak berjalan baik.”
“Aki-kun bilang karena sex. Bahwa, ia tidak—bagaimana ya—memberimu yang kau inginkan?”
“Sebagian karena itu. Kalau aku memang mencintainya, kupikir aku bisa bersabar. Jika aku yakin aku mencintainya, maksudku. Tapi aku tidak yakin.”
Erika mengangguk.
“Walaupun ia memberikan yang aku inginkan. Sex, begitu. Kurasa hubungan kami tetap akan berakhir demikian,” jawabku. “Itu tak terelakkan.”
“Apakah sulit?” tanyanya.
“Apanya?”
“Mendadak melajang, setelah sebelumnya bersama seseorang.”
“Terkadang,” jawabku jujur.
“Tapi, mungkin merasakan kesepian dan pengalaman sulit di masa muda memang perlu? Bagian dari proses pendewasaan diri?”
“Menurutmu begitu?”
“Sebuah pohon bisa tumbuh lebih kuat ketika ia berhasil bertahan melawan musim dingin. Cincin tahunan dalam batangnya tumbuh lebih kencang.”
Aku mencoba membayangkan cincin tahunan dalam diriku, seperti dalam batang pohon. Tapi aku hanya bisa membayangkan kue Baumkuchen, kue yang punya cincin di dalamnya seperti pohon.
“Aku setuju kalau manusia butuh masa seperti itu dalam hidup mereka,” ujarku. “Bahkan lebih baik jika mereka tahu bahwa masa itu akan berakhir suatu saat nanti.”
Ia tersenyum. “Jangan khawatir. Aku tahu kamu akan segera bertemu seseorang.”
“Kuharap begitu,” ucapku.
Erika merenungkan sesuatu selagi aku menggigit pizzaku.
“Tanimura-kun, aku ingin meminta saranmu tentang sesuatu. Boleh?”
“Tentu,” ujarku. Ini adalah masalah lain yang kerap kuhadapi : orang-orang yang baru saja kukenal meminta saran untuk masalah penting. Dan aku cukup yakin Erika menginginkan saran tentang sesuatu yang tidak terlalu menyenangkan.
“Aku bingung,” ia memulai.
Pandangannya bergeser maju-mundur, seperti kucing sedang mencari sesuatu.
“Aku yakin, kamu sudah tahu, Aki-kun sudah dua tahun kursus untuk ujian masuk kuliah, tapi ia jarang sekali belajar. Ia juga sering membolos ujian simulasi. Jadi, aku yakin ia akan gagal lagi tahun depan. Kalau saja ia menurunkan sedikit level universitas tujuannya, dia bisa saja diterima. Tapi ia bersikeras mendaftar ke Waseda. Aki-kun tidak mendengarkan orang tuanya, apalagi aku. Dia jadi agak terobsesi… tapi kalau memang begitu, seharusnya ia belajar dengan giat agar lulus ujian masuk. Tapi ia tidak belajar.”
“Kenapa ia tidak belajar lebih giat?”
“Aki-kun yakin ia akan lulus ujian kalau ia beruntung,” jawab Erika. “Belajar itu buang-buang waktu, katanya.” Erika menghela napas dan melanjutkan, “di sekolah dasar, ia selalu juara kelas. Tapi begitu naik ke SMP, nilainya semakin menurun. Sejak kecil ia anak yang jenius—jadi kepribadiannya tidak cocok dengan keharusan belajar setiap hari. Lebih baik dia pergi melakukan hal-hal gila yang menurutnya menyenangkan. Aku justru kebalikannya. Aku tidak begitu pintar sejak kecil, tapi aku selalu bekerja keras.”
Aku juga tidak terlalu giat belajar dan berhasil masuk kuliah dalam sekali ujian. Mungkin aku memang sedang beruntung.
“Aku sangat mengagumi Aki-kun,” lanjutnya. “Dia punya banyak kelebihan. Tapi terkadang sulit bagiku untuk mengikuti cara berpikirnya yang ekstrim. Seperti saat ia belajar dialek Kansai. Kenapa seseorang yang lahir dan besar di Tokyo repot-repot belajar dialek Kansai? Aku tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti. Awalnya kupikir ia cuma bercanda, tapi tidak. Dia benar-benar serius.”
“Mungkin ia ingin berubah, menjadi seseorang yang bukan Kitaru,” ujarku.
“Itu kenapa dia belajar dialek Kansai?”
“Aku setuju, agak sedikit radikal kalau ia memilih cara itu.”
Erika mengangkat potongan pizza dan menggigitnya sedikit. Ia mengunyah pizzanya perlahan sebelum lenjut berbicara.
“Tanimura-kun, aku bertanya karena aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Kau tidak keberatan?”
“Tentu tidak,” ucapku. Aku bisa bilang apa lagi?
“Umumnya,” ucapnya, “saat laki-laki dan perempuan berpacaran untuk waktu yang lama dan mengenal satu sama lain lebih dalam, si pemuda biasanya punya, semacam, ketertarikan fisik pada si perempuan, kan?”
“Umumnya, biasanya iya.”
“Jika mereka berciuman, dia, biasanya ingin menlanjutkan, ke.. kau tahu?”
“Normalnya, ya. Tentu.”
“Kau juga begitu?”
“Tentu,” ucapku.
“Tapi Aki-kun tidak. Saat kami berduaan, dia tidak mau melanjutkannya.”
Butuh beberapa saat bagiku untuk memilih kata yang tepat. “Itu hal pribadi, personal,” ucapku akhirnya. “Masing-masing punya cara sendiri untuk mendapatkan keinginan mereka. Kitaru sangat menyukaimu—sudah pasti—tapi hubungan kalian terlalu dekat dan nyaman, dia mungkin tidak bisa melangkah ke level selanjutnya, seperti kebanyakan orang.”
“Kau pikir begitu?”
Aku menggeleng. “Sejujurnya, aku juga tidak paham. Aku tidak pernah mengalami yang semacam itu. Aku hanya bilang kemungkinannya demikian.”
“Terkadang rasanya seperti dia tidak punya hasrat seksual padaku.”
“Aku yakin dia punya. Mungkin itu memalukan untuk diakui Kitaru.”
“Tapi kami sudah dua puluh, sudah dewasa. Cukup dewasa untuk tidak merasa malu.”
“Beberapa orang mungkin dewasa lebih cepat dari orang kebanyakan,” ucapku.
Erika berpikir sejenak. Dia terlihat seperti tipe orang yang selalu mengahadapi masalah langsung pada intinya.
“Aku pikir Kitaru, sejujurnya sedang mencari sesuatu,” lanjutku. “Dengan caranya sendiri, dengan langkahnya sendiri. Hanya saja, aku tidak yakin ia sudah menemukan sesuatu. Maka ia tidak bisa melangkah lebih jauh. Jika kau tidak tahu apa yang kau cari, tidak mudah mencarinya.”
Erika mendongak dan menatap mataku. Nyala lilin tercermin di mata gelapnya yang saking cantiknya hingga aku refleks berpaling.
“Tentu, kau mengenalnya lebih baik daripada aku,” ujarku menegaskan.
Erika menghela napas lagi.
“Sebenarnya, aku naksir orang lain selain Aki-kun,” ujarnya. “Dia satu tahun di atasku, kami sama-sama di klub tenis.”
Giliranku terdiam.
“Aku sungguh mencintai Aki-kun, dan aku tidak mungkin mencintai orang lain dengan kuantitas yang sama. Kapanpun aku jauh darinya, aku merasakan sakit yang luar biasa di dadaku. Sakitnya selalu di tempat yang sama. Sungguh. Ada tempat dalam hatiku, khusus untuknya. Tapi di saat bersamaan, ada keinginan kuat dalam diriku untuk mencoba hal lain, untuk berhubungan dengan berbagai macam orang. Sebut saja kuriositas, kehausan untuk tahu lebih banyak. Ini perasaan alami dan tak bisa kutekan, tidak peduli seberapa keras aku mencoba.”
Aku membayangkan sebuah tanaman yang tumbuh melampaui pot tempat ia ditanam.
“Saat aku bilang aku bingung, itu yang kumaksud,” jawab Erika.
“Kalau begitu kau harus memberitahu Kitaru apa yang kau rasakan,” ucapku. “Jika kau menyembunyikan fakta kau menyukai orang lain, dan kebetulan dia tahu, itu akan menyakitinya. Kau tidak mau itu terjadi, kan?”
“Tapi, bisakah dia menerimanya? Fakta kalau aku kencan dengan orang lain?”
“Aku bisa membayangkan ia akan mengerti perasaanmu,” ucapku.
“Menurutmu begitu?”
“Tentu,” ucapku.
Aku merasa Kitaru bisa mengerti kebingungan Erika, karena ia merasakan hal yang sama. Dalam hal ini, mereka ada di gelombang yang sama. Namun, aku tidak sepenuhnya yakin ia akan menerima kenyataan itu dengan tenang. Menurutku Kitaru bukan orang yang kuat. Tapi akan lebih berat jika Erika punya rahasia dan berbohong padanya.
Erika menatap nyala lilin yang berkedip-kedip diterpa semilir angin pendingin ruangan. “Aku sering memimpikan hal yang sama,” ujarnya. “Aki-kun dan aku berada di sebuah kapal. Perjalanan panjang dengan sebuah kapal besar. Kami bersama di dalam sebuah kabin, sudah larut malam, dan lewat jendela kapal kami bisa melihat bulan. Tapi bulan itu terbuat dari es transparan. Dan setengahnya sudah tenggelam dalam air laut. ‘Itu terlihat seperti bulan,’ ucap Aki-kun padaku, ‘tapi sebenarnya bulan itu terbuat dari es dan tebalnya hanya delapan inci. Jadi, ketika matahari terbit besok pagi, semuanya akan meleleh. Kamu harus melihatnya dengan baik sekarang, selagi punya kesempatan.’ Aku sudah sering sekali memimpikan mimpi ini. Mimpi yang indah. Selalu bulan yang sama. Selalu delapan inchi tebalnya. Aku bersandar pada Aki-kun, hanya kami berdua, ombak berkecipak lembut di luar. Tapi setiap kali aku terbangun, ada perasaan sedih yang tak tertahankan.”
Erika Kuritani terdiam sejenak. Kemudian ia kembali berujar. “Aku membayangkan betapa luar biasa jika aku dan Aki-kun dapat berlayar bersama selamanya. Setiap malam kami meringkuk berdua di ranjang dan memandang bulan es itu melalui jendela kapal. Lalu pagi akan datang, bulan meleleh, tapi malam selalu datang kembali. Tapi, mungkin bukan itu masalahnya. Mungkin suatu malam, bulan es itu tidak akan muncul. Memikirkannya saja membuatku takut. Begitu ketakutan hingga bisa kurasakan tubuhku menyusut.”
Saat aku melihat Kitaru di kedai kopi keesokan harinya, ia bertanya bagaimana kencan kami berjalan.
“Kau menciumnya?”
“Nggak mungkin.”
“Jangan takut—aku nggak akan marah,” ujarnya.
“Aku tidak melakukan apa pun.”
“Kau tidak menggandeng tangannya?”
“Tidak, aku tidak menggandengnya.”
“Jadi apa yang kalian lakukan?”
“Kami nonton film, jalan, makan makan, dan ngobrol,” jawabku.
“Cuma itu?”
“Umumnya, tidak boleh gerak terlalu cepat di kencan pertama.”
“Benarkah?” ucap Kitaru. “Aku belum pernah merasakan kencan yang umum, jadi aku nggak tahu.”
“Tapi aku menikmati kencan kami. Jika dia pacarku, tidak akan kubiarkan lolos pengawasanku.”
Kitaru menimbang pernyataanku. Ia hendak mengatakan sesuatu tapi urung dilakukan. “Jadi, kalian makan apa?” tanya Kitaru akhirnya.
Kuceritakan padanya tentang pizza dan Chianti.
“Pizza dan Chianti?” Kitaru terdengar syok. “Aku tidak tahu Erika suka pizza. Kami selalu makan mie, yang murah-murah. Anggur? Aku bahkan nggak tahu dia bisa minum.”
Kitaru sendiri tidak pernah minum.
“Ada beberapa masalah yang tidak kau tahu tentang dia,” ujarku.
Aku menjawab semua pertanyaan Kitaru. Tentang film Woody Allen (dia memaksa aku mereview seluruh plotnya), makan makan (berapa tagihan restorannya, kami bayar masing-masing atau tidak), apa yang Erika kenakan (dres katun warna putih, rambutnya ditata keatas dengan pin), dalaman apa yang ia pakai (mana aku tahu?), apa yang kami obrolkan. Aku tidak menyebutkan apapun soal Erika jalan dengan orang lain atau mimpinya tentang bulan es.
“Kalian sudah memutuskan kapan kencan kedua?”
“Tidak, tidak ada kencan kedua,” jawabku.
“Kenapa tidak? Kamu suka Erika, kan?”
“Dia baik. Tapi kami tidak bisa lanjut seperti ini. Maksudku, dia pacarmu, kan? Walaupun kau bilang tidak masalah kalau aku menciumnya, tetap tidak mungkin aku melakukannya.”
Kitaru merenung. “Kau mau tahu?” tanya Kitaru, akhirnya. “Aku sudah berkunsultasi ke seorang terapis sejak SMP. Orang tua dan guruku menyarankan untuk terapi. Karena aku sering melakukan hal-hal di sekolah dari waktu ke waktu. Kau tahu lah—hal-hal tidak normal. Tapi konsultasi dengan terapis sama sekali tidak membatu, sejauh pengalamanku. Secara teori kedengarannya bagus, kan? Tapi para terapis tidak peduli sama sekali. Mereka cuma menatapmu seperti mereka tahu segalanya, lalu membuatmu bercerita panjang lebar dan mereka hanya mendengarkan. Bung, kalau cuma itu sih aku juga bisa.”
“Kau masih sering terapi?”
“Yah, dua kali sebulan. Kayak membuang-buang uang, kalau kau tanya pendapatku. Erika nggak cerita soal itu?”
Aku menggeleng.
“Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang salah dengan cara berpikirku. Bagiku, seperti melakukan hal-hal biasa dengan cara biasa. Tapi orang-orang bilang hampir semua yang kulakukan itu aneh.”
“Yah, ada sesuatu dalam dirimu yang jelas nggak normal,” ujarku.
“Contohnya?”
“Contohnya, caramu bicara, dialek Kansai-mu.”
“Kau ada benarnya,” Kitaru mengiakan. “Itu sedikit tidak biasa.”
“Orang normal biasanya tidak akan sejauh itu.”
“Yah, kau mungkin benar.”
“Tapi, sejauh yang kutahu, bahkan jika yang kau lakukan itu tidak normal, itu nggak mengganggu siapapun.”
“Tidak sekarang.”
“Jadi, apa salahnya?” tanyaku. Aku mungkin sedikit kesal (pada apa atau siapa, aku tidak tahu). Aku rasa nada bicaraku semakin naik. “Kalau kau tidak mengganggu siapa pun, lalu kenapa? Kau mau bicara dengan dialek Kansai, ya sudah. Lakukan saja. Kau nggak mau belajar untuk ujian masuk kuliah? Jangan belajar. Kau nggak mau meniduri Erika Kuritani? Siapa yang mengharuskan? Ini hidupmu. Lakukan apapun yang kau mau dan lupakan apa kata orang lain.”
Kitaru menatapku keheranan, mulutnya menganga. “Kau tahu, Tanimura? Kau pemuda baik walaupun terkadang sedikit terlalu normal.”
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku. “ Kau tidak bisa merubah kepribadianmu begitu saja.”
“Tepat. Kau tidak bisa merubah kepribadianmu begitu saja. Itu yang ingin kukatakan.”
“Tapi Erika itu gadis baik,” ujarku. “Dia benar-benar peduli padamu. Apa pun yang kau lakukan, jangan lepaskan dia. Kau tidak akan pernah bertemu gadis seperti dia lagi.”
“Aku tahu. Kau nggak perlu memberitahuku,” ujar Kitaru. “Tapi, hanya tahu saja tidak akan merubah apa pun.”
Sekitar dua minggu kemudian, Kitaru berhenti bekerja di kedai kopi. Aku bilang berhenti, tapi sebenarnya ia tiba-tiba tidak berangkat bekerja. Dia tidak menelpon, tidak bilang kalau ingin cuti. Dan ini terjadi saat musim tersibuk, jadi pemilik kedai benar-benar kesal. Kitaru meninggalkan gajinya selama seminggu, tapi dia tidak pernah datang untuk mengambilnya. Dia lenyap begitu saja. Harus kuakui aku sakit hati. Aku kira kami teman baik dan tentu sulit bagiku untuk putus hubungan begitu saja. Aku tidak punya teman lain di Tokyo.
Dua hari sebelum Kitaru lenyap, tidak biasanya ia berdiam diri. Dia tidak bicara banyak saat kuajak bicara. Kemudian dia pergi dan menghilang. Aku bisa menelpon Erika Kuritani untuk bertanya, tapi aku tidak sanggup melakukannya. Kupikir apa yang terjadi di antara mereka adalah urusan pribadi, dan tidak sehat bagiku untuk terlibat lebih jauh. Bagaimanapun aku harus bisa bertahan dengan dunia kecil yang kumiliki.
Setelah semua yang terjadi, untuk beberapa alasan aku terus memikirkan mantan pacarku. Mungkin aku merasakan sesuatu setelah melihat Kitaru dan Erika bersama. Aku menulis surat panjang berisi permintaan maaf atas kelakuanku. Aku bisa lebih ramah padanya. Surat itu tidak pernah berbalas.
Aku langsung mengenali Erika Kuritani. Aku baru bertemu dengannya dua kali dan enam belas tahun sudah lewat sejak terakhir kali kami bertemu. Tapi tidak mungkin aku salah lihat. Ia masih secantik, sebergelora dulu. Erika mengenakan dres hitam berenda, dengan sepatu hak tinggi warna hitam dan kalung mutiara melingkar di lehernya. Ia juga langsung mengingatku. Kami berada di pesta wine-tasting di sebuah hotel di Asakasa. Acaranya formal dan aku harus mengenakan setelah gelap lengkap dengan dasi. Erika datang mewakili biro iklan yang mensponsori acara tersebut dan sudah jelas ia menangani pekerjaannya dengan baik. Sedang perlu waktu yang lama menjelaskan alasanku berada di acara itu.
“Tanimura-kun, kenapa kamu tidak pernah menghubungiku setelah kencan kita?” tanya Erika. “Aku berharap kita bisa lebih banyak ngobrol.”
“Kamu sedikit terlalu cantik untukku,” jawabku.
Erika tersenyum. “Senang mendengarnya, walau kamu hanya menyanjung saja.”
Tapi apa yang kukatakan bukan kebohongan atau pujian. Erika terlalu cantik bagiku untuk serius menyukainya. Dulu maupun sekarang.
“Aku menelpon kedai kopi tempat kamu dulu bekerja, tapi mereka bilang kamu tidak bekerja di sana lagi,” ujarnya.
Setelah Kitaru berhenti, pekerjaan itu jadi sangat membosankan dan aku ikut berhenti dua minggu kemudian.
Aku dan Erika merenungi hidup yang kami jalani enam belas tahun terakhir. Setelah kuliah, aku bekerja pada sebuah penerbit kecil tapi berhenti setelah tiga tahun dan menjadi penulis sejak saat itu. Aku menikah saat umurku dua puluh tujuh tahun tapi belum memiliki anak. Erika masih lajang. “Mereka mempekerjakanku sangat keras,” guraunya, “sampai-sampai aku tidak punya waktu menikah.” Dia yang pertama mengangkat topik tentang Kitaru.
“Aki-kun sekarang bekerja sebagai koki sushi di Denver,” ujarnya.
“Denver?”
“Denver, Colorado. Setidaknya menurut kartu pos yang ia kirimkan padaku beberapa bulan lalu.”
“Kenapa Denver?”
“Aku tidak tahu,” ucap Erika. “Kartu pos sebelumnya dikirim dari Seattle. Dia juga koki sushi di sana. Sekitar setahun yang lalu. Ia mengirim kartu pos sekali-kali. Kartu konyol dengan beberapa baris pesan saja. Kadang dia bahkan tidak menuliskan alamatnya.”
“Koki sushi?” aku kagum. “Jadi, dia tidak pernah kuliah?”
Erika menggeleng. “Saat musim panas berakhir, kalau tidak salah, tiba-tiba Aki-kun mengumumkan kalau ia menyerah belajar untuk ujian masuk kuliah dan dia akan masuk sekolah memasak di Osaka. Katanya ingin belajar masakan Kansai dan nonton pertandingan di Stadion Koshien, stadionnya Hanshin Tiger. Tentu saja aku tanya, ‘bagaimana bisa kamu memutuskan hal penting seperti itu tanpa bertanya padaku? Bagaimana denganku?’”
“Apa katanya?”
Erika tidak menjawab. Dia menutup mulut seolah-olah dia akan menangis kalau mencoba berbicara. Aku mengganti topik pembicaraan.
“Dulu kita pergi ke restoran itali di Shibuya, aku ingat kita minum Chianti yang murah. Sekarang, lihat kita, mencicipi anggur Napa kualitas premiun. Putaran nasib yang agak aneh.
“Aku ingat,” ujarnya, menguatkan diri. “Kita nonton film Woody Allen. Apa judulnya?
Aku menyebutkan judul filmnya.
“Film yang bagus.”
Aku setuju. Sudah pasti salah satu karya terbaik Woody Allen.
“Apakah hubunganmu dengan cowok di klub tenis itu berhasil?” tanyaku.
Ia menggeleng. “Tidak. Kami tidak bisa berhubungan seperti keinginanku. Kami pacaran enam bulan lalu putus.”
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku. “Ini sangat pribadi.”
“Tentu.”
“Aku tidak mau kamu tersinggung.”
“Tidak akan.”
“Kamu tidur dengannya?”
Erika melihatku dengan tatapan terkejut, pipinya memerah.
“Kenapa kamu membahas itu?”
“Pertanyaan bagus,” ucapku. “Sudah terpikir olehku sejak lama. Tapi itu hal aneh untuk ditanyakan. Maaf.”
Erika menggeleng. “Tidak, tidak masalah. Aku tidak tersingung. Aku hanya tidak menyangka. Itu sudah lama sekali.”
Erika menyapukan pandangan ke sekitar. Orang-orang dengan pakaian formal memenuhi ruangan. Prop tercabut satu demi satu dari botol-botol anggur mahal. Seorang pianis perempuan memainkan Like Someone in Love.
“Jawabannya iya,” jawab Erika. “Aku tidur dengannya beberapa kali.”
“Kuriositas, kehausan untuk tahu lebih banyak,” ujarku.
Erika tersenyum. “Benar. Kuriositas, kehausan untuk tahu lebih banyak.”
“Begitulah caranya mengencangkan cincin tahunan dalam diri kita.”
“Jika kamu bilang begitu,” ucapnya.
“Dan kalau boleh kutebak, pertama kali kau tidur dengannya adalah setelah kencan kita di Shibuya?”
Dia membalik-balik buku catatan dalam otaknya. “Sepertinya begitu. Sekitar seminggu setelahnya. Aku masih ingat dengan baik. Itu pertama kalinya untukku.”
“Dan Kitaru tahu sesuatu terjadi,” ucapku sambil menatap matanya.
Erika memandang meja dan mengusap mutiara di kalung satu demi satu, seolah memastikan jumlahnya masih lengkap. Ia menghela nafas, mungkin mengingat sesuatu. “Ya, kau benar. Aki-kun punya intuisi yang sangat kuat.”
“Tapi hubungan mu dengan laki-laki itu tidak berjalan baik.”
Dia mengangguk. “Sayangnya, aku tidak sepintar itu. Aku selalu mengambil jalan yang lebih jauh. Aku selalu mengambil jalan yang memutar.”
Itu yang semua orang lakukan : tanpa henti berjalan di rute yang memutar. Aku ingin memberitahunya, tapi urung. Menyampaikan kata-kata mutiara seperti itu adalah satu dari banyak masalahku yang lain.
“Apa Kitaru sudah menikah?”
“Sejauh yang kutahu, dia masih lajang,” jawab Erika. “Setidaknya, dia belum memberitahuku kalau ia menikah. Mungkin, kami berdua bukan tipe orang yang bisa menikah.”
“Atau mungkin kau hanya mengambil jalan memutar untuk sampai ke sana.”
“Mungkin.”
“Apa kau masih bermimpi tentang bulan es?” tanyaku.
Kepalanya mendongak tiba-tiba dan ia menatapku tidak percaya. Dengan tenang, perlahan, secercah senyum muncul di wajahnya. Senyum yang sangat natural.
“Kau ingat mimpiku?” tanyanya.
“Untuk beberapa alasan, ya, masih.”
“Meskipun itu mimpi orang lain?”
“Mimpi adalah sesuatu yang bisa kau pinjam dan pinjamkan,” ujarku.
“Itu ide yang luar biasa,” jawabnya.
Seseorang memanggil namanya dari belakangku. Sudah waktunya kembali bekerja.
“Aku tidak bermimpi lagi,” ujarnya ketika kami akan berpisah. “Tapi aku masih ingat setiap detilnya. Apa yang kulihat, apa yang kurasakan. Aku tidak bisa lupa, dan mungkin tidak akan pernah lupa.”
Ketika aku menyetir dan lagu The Beatles, Yesterday, diputar di radio, aku tidak bisa tidak mengingat lirik gila Kitaru yang teredam di kamar mandi. Dan aku menyesal tidak mencatatnya. Liriknya sangat aneh sehingga aku bisa mengingatnya untuk sementara waktu tapi lambat laun ingatanku mulai memudar sampai akhirnya aku hampir melupakannya. Yang kuingat sekarang hanya potongan fragmen. Aku bahkan tidak yakin apakah lirik ini yang dinyanyikan Kitaru dulu. Seiring waktu berlalu, kenangan, mau tidak mau menyusun kembali dirinya sendiri.
Saat aku masih dua puluhan, aku mencoba beberapa kali menulis buku harian, tapi aku tidak bisa. Banyak hal terjadi disekitarku dulu dan aku tidak bisa menuliskan semuanya. Dan hampir semuanya bukan tipe kejadian yang membuatku berpikir ‘Oh, aku harus menuliskan ini’. Yang bisa kulakukan hanya membuka mataku di tengah angin kencang, menarik napas dan melangkah ke depan.
Tapi anehnya, aku mengingat Kitaru dengan baik. Kami hanya beberapa bulan berteman, tapi setiap aku mendengar Yesterday, adegan dan percakapan dengannya teringat betul olehku. Kami berdua ngobrol selagi ia berendam di kamar mandi rumahnya di Denenchofu. Berbincang soal urutan memukul Hanshin Tiger, betapa menyebalkannya beberapa aspek dalam bercinta, betapa membosankannya belajar untuk ujian masuk kuliah, dan bagaimana dialek Kansai bisa begitu kaya akan emosi. Aku ingat kencanku dengan Erika Kuritani. Dan apa yang diakui Erika—di atas lilin meja di retoran italia. Semuanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Musik jelas punya kekuatan membangkitkan kenangan, yang kadang begitu instens hingga sakitnya terasa.
Tapi ketika kulihat kembali diriku saat dua puluh, yang sangat kuingat adalah rasa sepi dan kesendirian. Aku tidak punya kekasih yang bisa memeluk tubuhku atau jiwaku, tidak ada teman tempatku bisa membuka diri. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tidak ada visi untuk masa depan. Dan yang paling besar, aku selalu bersembunyi, jauh di dalam diriku. Terkadang, aku melewatkan seminggu tanpa bicara pada siapa pun. Hidup semacam itu berlanjut hingga satu tahun. Setahun yang terasa sangat panjang. Apakah itu masa musim dingin yang meninggalkan cincin tahunan penting dalam diriku, aku tidak tahu. Saat itu, aku merasa seperti setiap malam aku, juga, memandangi bulan es melalui jendela kapal. Sebuah bulan es setebal delapan inchi yang transparan. Tapi aku memandangi bulan itu sendirian, tidak bisa berbagi kecantikannya yang dingin dengan siapa pun.
Kemarin
Adalah dua hari sebelum besok,
Dan satu hari setelah dua hari yang lalu. ♦
(Dialihbahasakan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Philip Gabriel)
(Dialihbahasakan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Devi S. Ariani)
(Terjemahan Cerpen ini pernah dimuat di laman kibul.in)
0 komentar