Si Anak Panci, Alyosha

By dev - May 08, 2022


Alyosha, anak bungsu. Ia dipanggil Si Anak Panci, karena suatu hari Ibu menyuruhnya mengantar sepanci susu ke istri diaken dan jatuh menabrak sesuatu lalu kembali dengan panci retak. Ibu memukulinya, dan anak-anak mengejeknya. Sejak saat itu Alyosha dipanggil si Anak Panci. Alyosha berbadan mungil, bocah kurus berkuping caplang dan hidung besar. “Alyosha punya hidung mirip anjing di atas bukit!” begitu anak-anak kecil sering mengejeknya. Alyosha bersekolah di desa, tapi tidak pandai dalam pelajaran; lagipula, tidak ada waktu untuk Alyosha belajar. Kakak laki-lakinya bekerja pada seorang pedagang di kota, jadi sejak kecil Alyosha harus membantu Ayah. Ketika berumur lebih dari enan tahun, Alyosha sudah pergi bersama saudari-saudarinya menggembala kambing dan sapi di padang rumput, kemudian menjaga kuda-kuda siang dan malam. Ketika berumur dua belas, Alyosha sudah membajak sawah dan mengemudikan pedati. Dia punya kemampuan meski tidak ada kekuatan. Alyosha selalu ceria. Kapanpun anak-anak mengejeknya, Dia akan diam jika tidak tertawa. Kalau Ayah memarahinya, Alyosha akan berdiri membisu dan menyimak penuh perhatian, dan segera setelah omelan Ayah berhenti, dia akan tersenyum dan melanjutkan pekerjaan. Alyosha berumur sembilan belas ketoka Kakak laki-lakinya diangkat menjadi tentara. Jadi Ayah mengirimnya bekerja pada si Pedagang sebagai tukang kebun. Alyosha menerima sepatu bot tua milik Kakak, topi usang milik Ayah dan dibawa ke kota. Alyosha sangat senang dengan pakaiannya hari itu, tapi si Pedagang tidak terkesan.

“Kupikir kau akan membawakan seporang pria menggantikan Simeon,” ucapnya dengan mata memindai Alyosha, “dan kau membawakanku ini! Apa bagusnya dia?”

“Dia bisa semuanya; menjaga kuda dan mengemudi. Dia pandai bekerja. Kelihatannya memang kurus, tapi lumayan kuat. Dan dia punya kemauan kuat.”

“Kelihatannya. Baiklah; kita lihat apa yang dia bisa.”

Jadi Alyosha tinggal di rumah si Pedagang.

Keluarga si Pedagang tidak besar. Hanya berisi istri, ibunya yang sudah tua, anak laki-laki yang sudah menikah dan meneruskan bisnis keluarga, serta satu anak laki-laki lagi yang baru tamat sekolah dan masuk ke Universitas, tapi dikeluarkan dan akhirnya tinggal di rumah; serta anak perempuan yang masih bersekolah.

Awalnya, mereka tidak menganggap Alyosha bisa bekerja. Dia tidak sopan, tidak rapi, dan tidak punya sopan santun, tapi mereka akhirnya terbiasa. Alyosha bekerja bahkan lebih baik dari Kakak; kemauannya sangat kuat. Mereka menyuruhnya melakukan segala hal, tapi Alyosha mengerjakan semuanya dengan tepat dan cepat, dari satu tugas ke tugas yang lain tanpa berhenti. Maka di sana, seperti di rumah, semua pekerjaan ditumpangkan di atas bahunya. Makin banyak yang dilakukannya, makin banyak tugas yang diterimanya. Istri pedagang, Ibu pedagang, anak-anaknya, pelayannya bahkan juru masaknya—semua memerintah Alyosha dan mengirimnya pergi dari satu tempat ke tempat lain.

“Alyosha, kerjakan ini! Kerjakan itu! Apa! Apa kau lupa? Jangan sampai lupa, Alyosha!” terdengar dari pagi sampai malam. Dan Alyosha berlari ke sana ke sini, mengurus ini dan itu, mengingat semuanya, meluangkan waktu setiap saat, dan selalu ceria.

Sepatu bot tua kakak aus dengan cepat, dan si Pedagang mengomel karena Alyosha mondar mandir dengan jempol mencuat dari dalam sepatu. Dia menyuruh Alyosha membeli sepasang sepatu di pasar. Alyosha sangat girang dengan sepatu barunya, tapi kesal pada kakinya yang pegal-pegal di malam hari setelah seharian bekerja kesana kemari. Belum lagi, takut Ayah akan kesal ketika datang mengambil gajinya dan mendapati si Pedagang memotong bayaran Alyosha untuk membeli sepatu.

Di musim dingin Ayosha terbiasa bangun sebelum fajar. Dia akan membelah kayu, menyapu halaman, memberi makan sapi-sapi dan kuda-kuda, menyalakan kompor, membersihkan sepatu-sepatu, menyiapkan guci teh dan mencuci semuanya setelah digunakan; atau si Pelayan akan memintanya mengangkut barang-barang; atau si Juru Masak akan menyuruhnya mengulen adonan roti dan mencuci panci-panci. Kemudian, Alyosha akan pergi ke kota untuk melakukan beberapa tugas, menjemput anak perempuan pedagang dari sekolah, atau membeli olive oil untuk ibu pedagang. “Demi tuhan apa yang membuatmu lama sekali?” pertama, lalu yang lain akan berkata padanya. Kenapa harus mereka yang melakukannya? Alyosha bisa melakukan semuanya. “Alyosha! Alyosha!” dan Alyosha akan berlari ke sana dan ke sini. Dia sarapan di sela-sela melakukan pekerjaan dan jarang bisa makan malam tepat waktu. Si Juru Masak selalu mengomel karena Alyosha selalu terlambat makan malam, tapi dia juga kasihan dan selalu membuatkan sesuatu yang hangat untuk makan malam Alyosha.

Si musim liburan, ada lebih banyak pekerjaan daripada biasanya, tapi Alyosha suka musim liburan karena semua orang memberinya uang tip. Tidak banyak, tapi bisa mencapai enam puluh kopek—uangnya sendiri. Karena Alyosha tidak pernah mengharapkan uang gajinya. Ayah selalu datang dan mengambil gaji Alyosha langsung dari si Pedagang, dan hanya mengomel pada Alyosha karena merusak sepatu botnya.

Ketika tabungan Alyosha mencapai dua rouble, dan karena anjuran si Juru Masak, Alyosha membeli jaket rajut berwarna merah untuk dirinya sendiri. Begitu senang saat memakainya, sampai-sampai Alyosha tidak bisa menutup mulut karena kegirangan. Alyosha tidak banyak bicara; tapi ketika bicara, Alyosha bicara tidak karuan dengan kepala menengok ke samping. Ketika diminta mengerjakan sesuatu, atau ditanya apa bisa melakukannya, dia akan menjawab iya tanpa keraguan sedikitpun dan langsung mulai bekerja.

Alyosha tidak tahu doa apapun; dan sudah lupa apa yang Ibu ajarkan padanya. Tapi dia tetap berdoa, setiap pagi dan malam, berdoa dengan tangan lalu menyalib dirinya sendiri.

Alyosha hidup seperti itu selama satu setengah tahun dan pada akhir tahun kedua sesuatu yang mengejutkan terjadi padanya. Dia mendapati, suatu hari, dengan sangat mengejutkan, bahwa disamping hubungan saling menguntungkan antar manusia, ada sebuah hubungan lain, hubungan aneh dengan karakter yang sangat berbeda. Alih-alih seseorang yang memintanya membersihkan sepatu bot, dan melakukan tugas-tugas, mengikat kuda-kuda, dia tidak diminta melakukan apa pun, tapi orang lain yang melayani dan merawatnya. Tiba-tiba, Alyosha merasa dirinya seorang pria.

Dia menemukan ini lewat si Juru Masak. Ustinia masih muda, tidak punya orang tua dan bekerja sekeras Alyosha. Dia merasakan, pertama kali dalam hidupnya bahwa ia—bukan pelayanannya, tapi dirinya—penting bagi manusia lain. Ketika Ibu kasihan padanya, Alyosha tidak menyadari. Baginya hal itu wajar, seolah ia merasa kasihan pada dirinya sendiri. Tapi di sini, Ustinia, benar-benar orang asing, merasa kasihan padanya. Ustinia akan menyimpan sedikit bubur, dan duduk menonton Alyosha makan, dengan lengan baju tergulung dan tangan menopang dagu. Ketika Alyosha menatapnya, Ustinia akan tertawa dan Alyosha akan ikut tertawa juga.

Ini adalah hal baru, hal aneh yang menakutkan bagi Alyosha. Ia takut hal ini mengganggu pekerjaannya. Tapi ia juga senang dan Alyosha akan memandangi celananya yang diperbaiki Ustinia, lalu menggeleng dan tersenyum. Dia kerap memikirkan gadis itu ketika bekerja, atau melakukan sesuatu. “Gadis baik, Ustinia!” teriaknya terkadang.

Ustinia selalu membantunya kapanpun ia bisa, dan begitu juga sebaliknya. Dia bercerita tentang hidupnya, bagaimana Ustinia kehilangan orang tuanya; dan Bibi merawatnya; bagaimana anak laki-laki pedagang hampir memperkosanya dan bagaimana ia menolak. Ustinia senang bercerita dan Alyosha senang mendengarkannya bercerita. Alyosha kerap mendengar cerita tentang petani yang bekerja di kota seringkali menikah dengan gadis pembantu. Suatu ketika Ustinia bertanya apakah orang tua Alyosha berniat menikahkannya dalam waktu dekat. Alyosha menjawab ia tak tahu; dan dia tidak mau menikah dengan gadis desa manapun.

“Kau sudah menyukai seseorang, kalau begitu?”

“Aku ingin menikahimu, kalau kau bersedia.”

“Denganmu, Si Anak Panci, Alyosha; kau sudah bisa bicara ya, sekarang?” teriaknya, memukul punggungnya dengan lap di tangan. “Kenapa juga aku tidak mau?”

Ketika hari Shrovetide, Ayah Alyosha datang ke kota untuk mengambil gajinya. Kabar Alyosha ingin menikahi Ustinia telah sampai di telinga Istri pedagang dan ia tak mengizinkannya. “Bagaimana nanti kalau mereka punya bayi?” pikirnya, lalu memberitahu si Pedagang.

Si Pedagang memberikan gaji Alyosha pada Ayah.

“Bagaimana kerja anakku?” tanya Ayah. “Sudah kubilang kan dia mau bekerja.”

“Kerjanya bagus, sejauh ini, tapi dia mulai berulah. Ingin menikahi juru masak kami. Aku tidak menerima pekerja yang sudah menikah. Kami tidak akan menampung mereka.”

“Tunggu dulu, siapa sangka dia akan memikirkan hal seperti itu?” ucap Ayah. “Jangan khawatir, aku akan segera menyelesaikannya.”

Ayah pergi ke dapur dan duduk menunggu anak laki-lakinya. Alyosha yang sedang keluar mengerjakan tugas, kembali dengan terengah-engah.

“Kukira kau bisa berpikir, tapi apa ini yang kau rencanakan?” Ayah memulai.

“Aku? Tidak ada.”

“Tidak ada, bagaimana? Mereka bilang padaku kau ingin menikah. Kau bisa menikah kalau waktunya tiba. Aku akan mencarikanmu istri, bukan perempuan kota nakal.”

Ayah bicara dan terus bicara, sementara Alyosha berdiri diam dan menghela napas. Ketika Ayah selesai bicara, Alyosha tersenyum.

“Baiklah. Aku akan membatalkannya.”

“Nah, itu yang kubilang masuk akal.”

Ketika Alyosha sendirian bersama Ustinia, ia mengatakan apa yang Ayah katakan. (Ustinia mendengarkan di ambang pintu).

“Tidak bisa; tidak bisa dibujuk. Kau dengar? Dia sangat marah—tidak akan menerima dengan cara apa pun.”

Ustinia menangis ke atas celemeknya.

Alyosha menggelengkan kepala.

“Apa yang bisa kita lakukan? Kita harus melakukan apa yang diminta.”

“Kau akan membatalkan semuanya seperti yang Ayahmu minta?” istri pedagang bertanya ketika Alyosha menutup jendela-jendela saat senja hari.

“Tentu saja,” jawab Alyosha dengan senyum, lalu menangis.

Sejak hari itu Alyosha bekerja seperti biasa dan tidak lagi bicara pada Ustinia tentang pernikahan. Suatu hari, si Pelayan meminta Alyosha membersihkan salju di atap. Dia memanjat lalu menyapu semua salju; dan sementara ia masih menyikat es di atap, kakinya terpeleset dan Alyosha jatuh. Sayangnya, Dia tidak jatuh di atas salju, tapi pada sepotong besi di atas pintu. Ustinia berlari mendekat bersama dengan anak perempuan pedagang.

“Apa kau terluka, Alyosha?”

“Ah! Tidak, tidak apa-apa.”

Tapi Alyosha tidak bisa bangkit dan hanya bisa tersenyum.

Dia dibawa ke pondok. Dokter datang, memeriksa Alyosha dan bertanya bagian mana yang sakit.

“Semuanya,” ucap Alyosha. “Tapi itu bukan masalah. Aku hanya takut Tuan Pedagang akan kesal. Ayah harus diberi tahu.”

Alyosha terbaring di ranjang selama dua hari dan pada hari ketiga mereka memanggil pendeta.

“Apa kau benar-benar akan mati?” tanya Ustinia.

“Tentu saja. Kau tidak bisa hidup selamanya. Kau harus pergi ketika waktunya tiba.” Alyosha bicara tidak karuan seperti biasa. “Terima kasih, Ustinia. Kau sudah sangat baik padaku. Sungguh beruntung kita tidak menikah! Bagaimana nasib kita sekarang? Sungguh lebih baik seperti ini.”

Ketika pendeta datang, ia berdoa dengan talinya dan dengan hatinya. “Sebaik di sini ketika kau menurut dan tidak membahayakan orang lain, maka sebaik itulah di sana,” ujarnya dalam doa.

Alyosha bicara dengan sangat lirih; hanya bicara bahwa ia haus, dan tampak bertanya-tanya akan segala sesuatu.

Alyosha berbaring dalam keheranan, ia meregangkan tubuhnya, dan meninggal.[]

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar